URGENSI ILMU PERBANDINGAN AGAMA
URGENSI ILMU PERBANDINGAN AGAMA[1]
Qosim Nurseha Dzulhadi
“Hai
Ahli Kitab, marilah kita berpegang kepada ‘kalimat sawā’’ antara kami dan
kalian, yakni: kita tidak menyembah kecuali Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan apapun; dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai
‘tuhan-tuhan selain Allah’. Dan jika mereka berpaling (tidak mau berpegang
kepada ‘kalimat sawā’’) maka katakanlah: ‘Saksikanlah oleh kalian semua bahwa
kami adalah orang-orang Muslim’.”
(Firman
Allah, Qs.3:64)
بسم الله الرحمن
الرحيم
الحمد لله
الواحد الأحد، الفرد الصمد، الذى لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفوا أحد.
وأصلي وأسلم على
رسل الله، وعلى خاتمهم محمد بن عبد الله، وعلى آله وصحبه، ومن والاه، أما بعد:
PENDAHULUAN
Salah satu cabang ilmu dalam Islam yang mulai “pudar”
pesonanya adalah ‘Ilmu Perbandingan Agama’ (‘ilm muqārnat al-adyān; ad-dīn
al-muqāran). Padahal ilmu ini merupakan ilmu yang amat penting di dalam
meluruskan “kebengkokan” faham pihak luar terhadap Islam. Atau, ia merupakan
“alat” dalam menjelaskan keagungan Islam kepada pihak-pihak yang meragukannya.
Juga ia merupakan ilmu yang digunakan oleh para ulama’ sejak dulu dalam menolak
dan membantah “syubhat” penganut agama di luar Islam. Karena ‘hujatan’ dan
‘serangan’ kepada Islām terus berlangsung.[2] Maka, dapat juga ilmu ini kita
sebut dengan ‘teologi apologetik’ (al-lāhūt ad-difā‘ī).
Pudarnya
“pesona” ilmu perbandingan agama ini karena ‘keruntuhan peradaban’ (al-inkisār
al-hadhārī) yang mengungkung Dunia Islam sejak beberapa abad terakhir.
Karena memang ‘ladang ilmiah’ dalam bidang ini erat kaitannya dengan kecemerlangan
peradaban yang bercirikan adanya ‘toleransi, keterbukaan, keterkaitan dengan
pihak lain (the other, al-ākhar), jauh dari fanatisme dan ekslusivitas
serta meyakini bahwa pluralitas dan keberagaman merupakan sunnah ilahiyah
yang mengatur seluruh komunitas dan masyarakat, menjamin kebebasan
berkeyakinan, serta tidak adanya paksaan kepada orang lain dari sisi apapun:
politik, ekonomi, maupun agama.[3]
Nah,
meskipun berita-berita mengenai peradaban Islām kurang begitu menggembirakan,
ilmu ini harus tetap dipelajari dan diamalkan. Mengingat dasar-dasarnya di
dalam Al-Qur’an begitu banyak dan bertebaran. Dan tentunya, fakta sejarah yang
menyebutkan bagaimana gigihnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
berikut para sabatnya radhiyallahu ‘ahum dalam mendakwahkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan dengan agama lain patut ditiru dan direalisasikan juga
saat ini. Bukan saja karena banyak “syubhat” yang menyerang ajaran Islām,
tetapi karena mempelajari ilmu ini bagian dari berinteraksi dengan Kitabullah
sekaligus sebagai wujud pembelaan terhadap Islam. Untuk itu, dalam tulisan
ringkas ini akan dipaparkan secara sederhana terkait hal-hal tersebut.
―1―
AL-QUR’AN DAN AGAMA-AGAMA
Agaknya, Al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci di muka
bumi ini yang memberikan perhatian serius terhadap agama-agama yang ada:
Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majusi, kaum Musyrik.[4] Selain itu, Al-Qur’an juga
menyinggung agama-agama secara global (umum)[5] dan spesifik. Secara
spesifik Al-Qur’an mengandung kisah-kisah agama lain, seperti: Yahudi, Nasrani,
Majusi, berikut penjelasan mengenai penyimpangan mereka dari jalan yang lurus.
Selain itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bagaimana
menyebutkan kitab-kitab agama-agama tersebut yang diturunkan kepada nabi-nabi
terdahulu, dan bagaimana kaum kafir dan kaum musyrik berhadapan dengan para
nabi mereka, serta adanya benturan yang terjadi antara yang haq dan batil,
antara kebaikan dan kejahatan. Itu sebabnya Al-Qur’an begitu detail menjelaskan
dasar-dasar agama-agama lain. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an menetapkan bahwa Allah telah mengutus kepada
setiap umat seorang nabi dan rasul untuk menegakkan hujjah atas mereka.
2.
Mengimani seluruh nabi dan rasul serta kitab yang turun
kepada mereka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslim.
3.
Adanya distoris dan interpolasi dalam semua agama sebelum
Islam.[6]
4.
Al-Qur’an melakukan komparasi (perbandingan) antara
Tawhid dengan politeism. Al-Qur’an membantah keyakinan banyak Tuhan dengan
menegaskan bahwa hal itu menyebabkan rusaknya alam.[7]
5.
Al-Qur’an yang mulia mengajak untuk melakukan
adu-argumentasi dengan Ahli Kitab dengan cara yang lebih baik (lebih
argumentatif). Ini mengandung isyarat untuk mengenal agama-agama,
membandingkannya dengan agama-agama yang lain, agar adu-argumentasi dengan para
penganut agama yang ada berlandaskan pada ilmu, dasar dan prinsip.[8]
6.
Al-Qur’an membandingkan antara Khaliq dan
makhluq, dan merendahkan siapa saja yang menyamakan antara Khaliq
dan makhluq.[9]
7.
Al-Qur’an mengumumkan bahwa Islam adalah agama yang haq.[10] Dan, Al-Qur’an
menyebutkan bahwa Allah menyempurnakan agama ini. Dengan begitu tidak ada
seorang pun yang mampu merusak dan mengubah agama ini (baik dengan ditambahi
maupun dikurangi).[11] Ini tentunya berbeda
dengan agama lain yang lain: telah diubah, dirusak, dan ditambal-sulam. Nah,
berdasarkan poin-poin ini kaum Muslimin mulai mempelajari agama lain secara
ilmiah dan objektif.[12]
Dari pemaparan di atas dapat ditarik satu kesimpulan
penting bahwa sejak awal Allah telah menjelaskan bahwa umat Islām akan
berhadapan dengan agama-agama lain. Dan agama-agama lain ini ajarannya (terutama
Ahli Kitab)[13] telah
menyimpang jauh dari ajaran Allah, sehingga mereka harus “dikembalikan” ke
jalan Islam; jalan yang lurus ini. Dan penyimpangan-penyimpangan mereka itulah
yang diungkap oleh Al-Qur’an dalam banyak ayatnya, sebagaimana disinggung
sebelumnya.
―2―
ILMU PERBANDINGAN AGAMA:
KELAHIRAN DAN PERKEMBANGAN
Sebelum
membicarakan “kelahiran” dan perkembangan ilmu perbandingan agama, ada baiknya
disebut lebih awal bahwa agama jika dilihat dari objek sesembahannya dibagi
menjadi dua; pertama, agama yang menyeru kepada hanya menyembah Allah
dan tidak menyekutukan-Nya. Di posisi awal tentu ditempati oleh Islām, kemudian
disusul oleh Yahudi kemudian Nasrani. Meskipun harus segera dicatat bahwa agama
ini telah dirusak dengan masuknya unsur kesyirikan karena mengandung dogma
Trinitas dan lainnya.[14] Dan kedua,
agama-agama paganis-syirik: yang menyeru kepada penyembahan selain Allah. Masuk
dalam agama ini adalah: Hinduisme, Buddhisme, dan lainnya. Dan secara sumber,
agama dibagi menjadi dua juga, yakni: pertama, agama samawi, yaitu:
Islām, Yahudi, dan Nasrani; kedua, agama wadh‘i (agama buatan
akal manusia), mencakup seluruh agama syirik (adyān syirkiyyah).[15]
Mengenai
pembagian agama, baik menurut objek sesembahan dan sumbernya, yang disinggung
sebelumnya menunjukkan bahwa itu adalah hasil studi atau riset. Ini juga
menegaskan adanya upaya penulisan dan pembahasan mengenai agama-agama.
Pertanyaannya kemudian adalah: kapan dimulai studi tentang agama-agama (dirāsāt
al-adyān) ini dimulia? Pakar perbandingan agama, Husnī Yūsuf al-Athīr,
menyatakan bahwa pemikiran apologetik dalam Islām sudah muncul sejak awal abad
ke-2 Hijrah. Namanya saat itu adalah Ilmu Kalam yang memerankan dua poros
sekaligus: poros politis (al-mihwar as-siyāsī) yang dikaji dalam
pembahasan ‘al-imāmah’ (kepemimpinan), dan kedua, poros
akidah atau keyakinan (al-mihwar al-‘aqā’idī). Tujuan poros ini adalah:
untuk membela dan membentengi Islām dari serangan musuh-musuhnya dari agama
lain dan dari serangan aliran yang menisbatkan dirinya kepada Islām (aliran
sempalan dan menyimpang dari Islām).[16]
Ibn
an-Nadīm dalam al-Fihrist mencatat demikian:
أن أحمد بن عبد الله بن سلاّم ترجم للخليفة هارون الرشيد
التوراةَ والإنجيلَ، وأنه تحرّى الدقّة فى الترجمة
“Ahmad ibn
‘Abdillāh ibn Sallām telah menerjemahkan Taurat dan Injil kemudian diserahkan
kepada Khalifah ar-Rasyīd. Hasil terjemahnya amat teliti.”[17]
Jadi, Menurut catatan banyak peneliti sejatinya studi
agama lahir dalam dan dari “rahim” peradaban Islām. Umat Islām lah yang pertama
kali menulis ilmu ini. Dan ini diinspirasi oleh Al-Qur’ān yang di dalamnya
banyak disebutkan keyakinan agama lain, sejak awal turunnya, khususnya agama
Yahudi dan Nasrani. Sehingga sangat logis, seperti yang dinyatakan oleh
Abdullah as-Syarqāwī, bahwa “al-ubuwwah as-syar‘iyyah” alias “bapak yang
sah” dari ilmu perbandingan agama adalah Islām; secara objek maupun metodologi.[18] Karena di Barat kajian
terhadap agama-agama baru muncul di abad ke-19. Ini jelas sangat jauh
tertinggal dari kajian para ulama Islām, selama sepuluh abad lamanya.[19]
Selain
itu, secara logis, Al-Qur’ān melakukan perbandingan antara haq dan batil. Bahwa
haq harus diikuti sedangkan batil wajib ditinggalkan.[20] Kata Allah, dalam
Al-Qur’ān, segala yang disembah selain Allah adalah “hamba” juga seperti
manusia yang menyembahnya. Jika pun mereka diminta akan diam saja. Tidak bisa
berkata-kata. Sesembahan palsu itu tidak memiliki kaki, tidak memiliki tangan,
tidak memiliki mata, tidak pula memiliki telinga.[21] Belum lagi kisah para
nabi dan rasul yang berhadapan dengan kaumnya yang menolak dakwah mereka,
bahkan ada yang sampai mendustakan bahkan membunuh mereka, seperti kaum Yahudi,
kaum nabi Nuh, kaum nabi Luth, dan lain sebagainya.
Para
ulama Islām kemudian melakukan studi hingga kodifikasi dalam agama-agama.
Karena menurut mereka ini merupakan lahan dakwah. Menurut Imam Ibn Hazm
al-Andalusī (w. 456 H) dalam ‘al-Fishal’: “Banyak orang menulis
tentang keberagaman agama dan pandangan keagamaan dalam bentuk buku yang begitu
banyak. Ada yang menulisnya dengan panjang-lebar, ada pula yang ringkas dan
kecil...”[22]
dan diantara para para ulama yang menulis tentang agama-agama lain adalah
sebagai berikut:
1.
Abū Hudzayfah Wāshil ibn ‘Athā’ (80-131 H) menulis
“al-Alf Mas’alah fī ar-Radd ‘alā al-Mānawiyyah”;
2.
Abū Hudzayl al-‘Allāf (w. 127 H; disebut pula 235 H)
menulis “Mīlās”;
3.
Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Sayyār an-Nazzhām (160-221 atau 231
H). Kata Imam ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī dalam al-Farq bayna al-Firaq: “Shannafa
kitāban ‘alā at-Tsunawiyyah”. Dan juga menulis “ar-Radd ‘alā
ad-Dahriyyīn”;
4.
Imam Muhammad ibn Idrīs as-Syāfi‘ī (150-204 H) menulis
“Kitāb Itsbāt an-Nubuwwah wa ar-Radd ‘alā al-Barāhimah”;
5.
Hisyām ibn al-Hakam (w. 221 atau 231 H) menulis: “ar-Radd
‘alā az-Zanādiqah” dan “ar-Radd ‘alā Ashāb al-Itsnain”;
6.
Abū Sahl Bisyr ibn al-Mu‘tamir al-Hilālī (w. 210 H)
menulis “ar-Radd ‘alā al-Musyrikīn”;
7.
Abū ar-Rabī‘ Muhammad ibn al-Layts al-Khathīb menulis
“ar-Radd ‘alā az-Zanādiqah”;
8.
Al-Kindī (Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ishāq ibn as-Shabbāh (w. 252
H) menulis: (1) ar-Risālah fī ar-Radd ‘alā al-Manāniyah; (2) ar-Risālah
fī ar-Radd ‘alā at-Tsanawiyah; (3) ar-Risālah fī Naqdh Masā’il
al-Mulhidīn; dan (4) ar-Risālah fī Tatsbī ar-Rusul ‘alayhimus-salām;
9.
Abū ‘Utsmān ‘Amr ibn Bahr (w. 255 H) menulis
“al-Mukhtār fī ar-Radd ‘alā an-Nashārā”;
10.
Imam Abū al-Hasan al-Asy‘arī (w. 330 H) menulis “Jumal
al-Maqālāt”;
11.
Imam al-Mas‘ūdī (w. 346 H) menulis “al-Maqālāt fī
Ushūl ad-Diyānāt”;
12.
Imam Abū ar-Rayhān al-Bīrūnī (w. 404 H) menulis “Tahqīq
mā li’l-Hindi min Maqūlat Maqbūlah fī al-‘Aql aw Mardzūlah”;
13.
Imam Ibn Hazm al-Andalusī (w. 456 H) menulis
“al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal”;
14.
Imam al-Haramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī (w. 478 H/1085
M) menulis “Syifā’ al-‘Alīl fī ar-Radd ‘alā Man Baddala at-Tawrāt wa
al-Injīl”
15.
Hujjatu’l-Islām Abū Hāmid al-Ghazāl (450-505 H) menulis
“ar-Radd al-Jamīl li Ilāhiyyat ‘Īsā bi Sharīh al-Injīl”;
16.
Imam Abū al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr
Ahmad as-Syahrastānī (479-548 H) menulis “al-Milal wa an-Nihal”;
17.
Imam Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī (w. 606 H) menulis
“I‘tiqādāt Firaq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn” dan menulis “Munāzharah fī
ar-Radd ‘alā al-Yahūd wa an-Nashārā”;
18.
Imam Ibn Taymiyyah (w. 728 H) menulis “al-Jawāb
as-Shahīh liman Baddala Dīn al-Masīh”;
19.
Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) menulis
“Hidāyat al-Hayārā fī Ajwibat al-Yahūd wa an-Nashārā”;
20.
Imam ‘Abdullah at-Tarjumān (w. 823 H/1420 M) menulis “Tuhfat
al-Arīb fī ar-Radd ‘alā Ahl as-Shalīb”;
21.
Imam Abū al-Fadhl al-Mālikī as-Su‘ūdī (w. 924 H/1535 M)
menulis “al-Muntakhab al-Jalīl min Takhīl Man Harrafa al-Injīl”; dan
banyak lagi.[23]
Selain karya para ulama klasik tersebut di atas, para
ulama lain tidak berhenti mengkaji dan menulis buku mengenai agama-agama,
termasuk di Indonesia. Maka kita mengenal nama ulama hebat seperti Rahmatullāh
al-Hindī yang menulis buku yang spektakuler dengan tajuk ‘Izhār al-Haqq’;
buku ini menginspirasi Syekh Ahmad Hosein Deedat (kristolog hebat) yang menulis
buku ‘The Choice: Between Islam and Christianity’ yang fenomenal itu. Usaha
Deedat ini kemudian dilanjutkan oleh Zakir Naik, dari India.
Di Mesir ada as-Sayyid Muhammad Rasyīd Ridhā yang menulis
‘Aqīdat as-Shalb wa al-Fidā’ (Penyaliban dan Penebusan Dosa); Syekh
Muhammad al-Ghazālī (w. 1996) yang menulis ‘Shayhat Tahdzīr min Du‘āt
at-Tanshīr’. Ada pula Prof. Dr. Ahmad Syalabi yang menulis
‘al-Yahūdiyyah’ dan ‘al-Masīhiyyah’, dan Syekh Muhammad Abū Zahrah
yang menulis ‘Muhādharāt fī an-Nashrāniyyah’, Syekh Muhammad Mutawalli
as-Sya‘rāwī yang menulis ‘Maryam wa al-Masīh’, Syekh Yūsuf al-Qaradhāwī
yang menulis ‘Mawqif al-Islām al-‘Aqadī min Kufr al-Yahūd wa an-Nashārā’, dan
banyak lagi.
Di Indonesi tentu tak ketinggalan para kristolog hebat
seperti: M. Natsir yang menulis ‘Islam & Kristen di Indonesia’ dan ‘Mencari
Modus Vivendi Antar Ummat Beragama di Indonesia’. Ada lagi Prof. Dr. H.M.
Rasjidi yang menulis ‘Islam dan Kebatinan’, ‘Empat Kuliah Agama Islam di
Peguruan Tinggi’, dan ‘Filsafat Agama’; H. Arsyad Thalib Lubis (1326/1908-1972)
yang menulis ‘Rahasia Bible’ (1926), ‘Keesaan Tuhan menurut Kristen
dan Islam’, ‘Berdialog dengan Kristen Adventis’, dan ‘Perbandingan Agama
Islam dan Kristen’ (karya monumentalnya, Medan 1969). Kita pun
mengenal ulama hebat sekelas Buya Hamka yang menulis dan mengkritik Bible dan
dogma Yahudi dan Kristen dalam lembaran ‘Tafsir Al-Azhar’ dan ‘Umat
Islam Menghadapi Kristenisasi dan Sekularisasi’.
Ada lagi KH. Bahauddin Mudhary yang menulis ‘Dialog
Ketuhanan Yesus Kristus’, KH. Abdullah Wasi’an[24] yang menulis ‘Dialog:
Memahami Keimanan Kristen-Islam’, ‘Kata Bibel tentang Muhammad’ (bersama
Ahmed Deedat), ‘100 Jawaban untuk Missionaris’, ‘Islam Menjawab’, ‘Jawaban
untuk Pendeta’, ‘Pendeta Menghujat, Kiai Menjawab’, Dr. Adian Husaini yang
menulis disertasi dengan tajuk ‘Exclusivism and Evangelism in The Second
Vatican Council’ (Kuala Lumpur: IIUM, 2011), ‘Solusi Islam Kristen di
Indonesia’, ‘Konflik Yahudi-Kristen-Islam’, ‘Kerukunan Beragama dan Kontroversi
Penggunaan kata “Allah” dalam Agama Kristen’, dan banyak lagi lainnya.
Nah, dapat kita pahami bahwa kajian terhadap agama-agama
yang dilakukan oleh para ulama dan intelektual Islām sampai hari ini terus
berlangsung. Bukan saja karena dasarnya adalah Al-Qur’an, tetapi juga realita.
Realitas keumatan yang membutuhkan respon serius dari para ulama ini yang
akhirnya membuahkan karya-karya menarik dan istimewa. Jadi, ilmu perbandingan
ulama terus berkembang dan dikembangkan sedemikian rupa, yang mungkin saat ini
sering kita dapati menggunakan istilah ‘kristologi’.
―3―
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Dengan
melihat keseriusan para ulama kita dalam membentengi Islam dan ajarannya dari
serangan musuh-musuhnya kita tentu takjub dan takzim kepada mereka. Tapi,
apakah yang harus kita lakukan untuk membalas jasa dan jihad mereka itu? Setidaknya
yang paling mungkin kita lakukan adalah: membaca dan menelaah karya-karya
mereka tersebut. Karena dengan membaca karya mereka kita melakukan ‘al-i‘tirāf
bi’l-jamīl’, ‘berterima-kasih’ dan ‘menghargai’ karya dan usaha mereka. Meskipun
itu belumlah cukup. Jika kita diberi kelebihan ilmu dan nalar yang baik oleh
Allah, sebaiknya kita pun meninggalkan karya tulis dalam perbandingan agama
ini. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.[]
والحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Daftar Pustaka
Al-Qur’ān al-Karīm
Bahrul Ulum, Benteng Islam Indonesia: Pemikiran dan
Perjuangan KH. Abdullah Wasi’an (Surabaya: Pustaka Da’i, 2003).
Dr. Muhammad Abdullah as-Syarqawi, Buhūts fī Muqāranat
al-Adyān (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1420 H/2000 M).
Dr. Muhammad Abdullah Dirrāz, ad-Dīn: Buhūts
Mumahhadah li Dirāsāt Tārīkh al-Adyān (Kairo: al-Idārah al-‘Āmmah li
Mathābi‘ al-Azhar, 1428 H/2007 M).
Dr. Sa‘ūd ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Khalaf, Dirāsāt fī
al-Adyān (al-Yahūdiyyah wa an-Nashrāniyyah) (ar-Riyādh: Maktabah Adhwā’
as-Salaf, 1417 H/1997 M).
Dr. Syamsuddin Arif, “Gayung Bersambut, Kata Berjawab:
Tipologi Hubungan Islām dan Kristen”, dalam Qosim Nurseha Dzulhadi, Teologi
Islam vs Kristen: Sanggahan terhadap Buku ‘Menuju Dialog Teologis
Kristen-Islām’ oleh Bambang Noorsena (Surabaya: Pustaka Da’i, cet. I,
2010).
Husnī Yūsuf al-Athīr, Muqaddimah fī Nasy’at al-Kitābāt
ad-Difā‘iyyah bayna al-Islām wa an-Nashrāniyyah (Kairo: Maktabah az-Zahrā’,
1421 H/2000 M).
Imam Abū al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr
Ahmad as-Syahrastānī (479-548 H), al-Milal wa an-Nihal, ed. Shidqī Jamīl
al-‘Atthār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1422 H/2002 M).
Imam Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa‘īd ibn Hazm
al-Andalusī, al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal (Maktabah
as-Salām al-‘Ālamiyyah, tanpa tahun), Jilid 1.
__________, al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal, ed. Dr.
Muhammad Ibrāhīm Nashr dan Dr. ‘Abd ar-Rahmān ‘Umayrah (Beirut: Dār al-Jayl,
cet. II, 1416 H/1996 M), Jilid 1.
Muhammad ibn Thāhir at-Tanayyir al-Bayrūtī, al-‘Aqā’id
al-Watsaniyyah fī ad-Diyānah an-Nashrāniyyah, ed. Dr. Muhammad ‘Abdullah
as-Syarqāwī (Kairo: Dār as-Shahwah, tanpa tahun).
Qosim Nurseha Dzulhadi, Teologi Islam vs Kristen
(Surabaya: Pustaka Da’i, cet. I, 2010).
__________, مدخل لعلم مقارنة
الأديان (Makalah tidak diterbitkan,
2010).
__________, “Al-Qur’ān dan Pengembangan Studi Agama
(Telaah terhadap Yahudi, Kristen, Sabea, dan Majusi), Jurnal Tsaqafah, Vol.
10, No.2, November 2014).
__________, Pendeta Menghujat, Ustadz Meralat
(Pematangsiantar-Sumut: Alkifah, 2015).
[1] Makalah
yang disampaikan dalam “Muzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara”
pada Ahad, 21 Jumadil Awal 1443 H/26 Desember 2021 M.
[2] Penulis
mengalami perdebatan dengan aktivis Kristen selama 6 bulan. Dan akhirnya, hasil
debat itu, penulis terbitkan dalam bentuk buku dengan tajuk ‘Pendeta
Menghujat, Ustadz Meralat’ (Pematangsiantar-Sumut: Alkifah, cet. I, 2015).
[3] Dr. Muhammad Abdullah as-Syarqawi, Buhūts fī Muqāranat al-Adyān
(Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1420 H/2000 M), hlm. 5.
[4] Cermati
Firman Allah, Qs. al-Baqarah (2): 62; al-Mā’idah (5): 69; dan al-Hajj (22): 17.
Lebih luas, lihat Qosim Nurseha Dzulhadi, “Al-Qur’ān dan Pengembangan Studi
Agama (Telaah terhadap Yahudi, Kristen, Sabea, dan Majusi), Jurnal Tsaqafah,
Vol. 10, No.2, November 2014).
[5] Misalnya,
cermati Firman Allah, Qs. Fāthir: 24; Yūnus (10): 47; dan al-Isrā’ (17): 15.
[6] Cermati
Firman Allah, Qs. al-Baqarah (2): 75, 79.
[7] Firman
Allah, Qs. al-Anbiyā’ (21): 22.
[8] Firman
Allah, Qs. al-‘Ankabūt: 46.
[9] Firman
Allah, Qs. an-Nahl (15): 17.
[10] Firman
Allah, Qs. Āl ‘Imrān (3): 19.
[11] Firman
Allah, Qs. al-Mā’idah (5): 3.
[12] Qosim Nurseha Dzulhadi, مدخل لعلم مقارنة الأديان (Makalah tidak diterbitkan, 2010),
hlm. 5-8.
[13] Yaitu kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Karena ujaran Al-Qur’an seluruhnya
menunjuk kepada dua kelompok ini. Lihat, Imam Abū al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm
ibn Abī Bakr Ahmad as-Syahrastānī (479-548 H), al-Milal wa an-Nihal, ed.
Shidqī Jamīl al-‘Atthār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1422 H/2002 M), hlm. 168-174.
[14] Mengenai
unsur-unsur syirik dalam agama Nasrani, rujuk Muhammad ibn Thāhir at-Tanayyir al-Bayrūtī,
al-‘Aqā’id al-Watsaniyyah fī ad-Diyānah an-Nashrāniyyah, ed. Dr.
Muhammad ‘Abdullah as-Syarqāwī (Kairo: Dār as-Shahwah, tanpa tahun).
[15] Dr. Sa‘ūd
ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Khalaf, Dirāsāt fī al-Adyān (al-Yahūdiyyah wa
an-Nashrāniyyah) (ar-Riyādh: Maktabah Adhwā’ as-Salaf, 1417 H/1997 M), hlm.
12.
[16] Lihat,
Husnī Yūsuf al-Athīr, Muqaddimah fī Nasy’at al-Kitābāt ad-Difā‘iyyah bayna
al-Islām wa an-Nashrāniyyah (Kairo: Maktabah az-Zahrā’, 1421 H/2000 M),
hlm. 9.
[17] Ibn
an-Nadīm (Abū al-Faraj Muhammad ibn Ishāq al-Baghdādī, dikenal dengan
“al-Warrāq”), al-Fihrist (Kairo: al-Mathba‘ah at-Tijāriyyah, tanpa
tahun), hlm. 325.
[18] Dr.
Muhammad Abdullah as-Syarqāwī, Buhūts fī Muqāranat al-Adyān, hlm. 5.
[19] Dr.
Muhammad Abdullah Dirrāz, ad-Dīn: Buhūts Mumahhadah li Dirāsāt Tārīkh
al-Adyān (Kairo: al-Idārah al-‘Āmmah li Mathābi‘ al-Azhar, 1428 H/2007 M),
16.
[20] Cermati
Firman Allah, Qs. Yūsuf (12): 39.
[21] Hayati
Firman Allah, Qs. al-A‘rāf (7): 191-195.
[22] Lihat,
Imam Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa‘īd ibn Hazm al-Andalusī, al-Fishal
fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal (Maktabah as-Salām al-‘Ālamiyyah, tanpa
tahun): (1/9). Lihat juga, Imam Ibn Hazm al-Andalusī, al-Fishal fī al-Milal
wa al-Ahwā’ wa an-Nihal, ed. Dr. Muhammad Ibrāhīm Nashr dan Dr. ‘Abd
ar-Rahmān ‘Umayrah (Beirut: Dār al-Jayl, cet. II, 1416 H/1996 M), (1/35).
[23] Rujuk, Dr.
Muhammad Abdullah Dirrāz, ad-Dīn, hlm. 17; Husnī Yūsuf al-Athīr, Muqaddimah
fī Nasy’at al-Kitābāt ad-Difā‘iyyah, hlm. 65-69; dan Dr. Syamsuddin Arif,
“Gayung Bersambut, Kata Berjawab: Tipologi Hubungan Islām dan Kristen”, dalam
Qosim Nurseha Dzulhadi, Teologi Islam vs Kristen: Sanggahan terhadap Buku
‘Menuju Dialog Teologis Kristen-Islām’ oleh Bambang Noorsena (Surabaya:
Pustaka Da’i, cet. I, 2010), hlm. xi-xii.
[24] Untuk
biografinya, rujuk Bahrul Ulum, Benteng Islam Indonesia: Pemikiran dan
Perjuangan KH. Abdullah Wasi’an (Surabaya: Pustaka Da’i, 2003).