Studi Perjanjian Lama (Taurat)
Studi Perjanjian Lama (Taurat):
Kajian Kritis atas Teks, Sanad dan Kandungan?
Prolog
Secara eksplisit, Allah memerintahkan umat Islam untuk mempelajari kitab suci kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen), yakni Bible[1]. Perintah ini secara gamblang disebutkan di dalam Al-Qur’an: “Dia telah menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur’an) dengan sebenarnya, membenarkan apa-apa (Kitab) yang diturunkan sebelumnya dan Dia telah menurunkan Taurat dan Injil. (Sebelum) Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia. Dan Dia telah menurunkan al-Furqan (Al-Qur’an).” (Qs. Ali ‘Imrân [3]: 3-4), “Rasul (Muhammad) telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan (demikian pula) orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya, (seraya mereka berkata): “ Kami tidak membeda-bedakan antara seorang dengan yang lain daripada rasul-rasul-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 285). Selain ayat-ayat dari dua surat di atas, landasan dalam mempelajari Bible juga disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW., “Lâ tushaddiqû Ahl al-Kitâb wa lâ tukadzdzibûhum wa qûlû âmannâ billâhi wa mâ unzila ilaynâ wa mâ unzila ilaykum wa ilâhunâ wa Ilâhukum wâhidun wa nahnu lahû muslimûn” (Janganlah kalian benarkan (percayai) kaum Ahli Kitab dan jangan pula kalian dustakan (tidak kalian percayai), melainkan katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada kalian. Dan Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah “satu”, dan kami berserah diri kepada-Nya). (HR. Bukhari dari Abu Hurayrah ra.).
Namun demikian, hemat penulis, mempelajari Bible merupakan “fardhu kifayah”. Ia tidak menjadi kewajiban atas setiap individu Muslim, tetapi hanya sebagian saja. Hal ini dibutuhkan agar mereka dapat memberikan keterangan dan penjelasan tentang kondisi Bible (isi, ayat, ajaran, dll) kepada umat, agar “tidak keliru” dan tidak “salah kaprah” di dalam meyakini, mengimani dan mempercayainya.
I. Bible: Pengertian dan Jumlah Kitabnya
Secara etimologis, kata “Bible” berasal dari bahasa Yunani: biblos yang berarti “kitab”. Jadi, kata “Bible” artinya “kitab”, yang pada dasarnya bukan nama benda. Tapi, sekarang kata ini digunakan sebagai nama benda, yaitu The Holy Bible (Kitab Suci Bible). Bible juga tidak menyatakan: “Aku adalah kitab Allah!”[2] Umat Kristen – Katolik dan Protestan – sepakat bahwa Bible itu mengandung: Pertama, Perjanjian Lama (Torah/Taurat atau Old Testament, selanjutnya disingkat PL) dan Perjanjian Baru (Gospel, New Testament atau Injil).
Orang-orang Yahudi mengimani – dengan adanya perbedaan di antara sekte-sekte mereka – kitab-kitab “Perjanjian Lama” dan mereka mengklaim bahwa kitab-kitab tersebut sampai kepada mereka melalui nabi-nabi mereka yang diutus kepada mereka sebelum ‘Isa ibn Maryam ‘alayhissalam (Yesus Kristus). Menurut mereka, kitab-kitab tersebut adalah “wahyu” dan “tanzîl”. Dari kitab-kitab itulah mereka menyandarkan akidah (keyakinan) syari‘at mereka, sistem dan moral mereka. Begitu juga dalam mengetahui sejarah dan kehidupan sehari-hari mereka – bersandar kepada kitab-kitab tersebut.
PL terdiri dari 39 kitab atau sifr, menurut Kristen Protestan. Para pakar agama-agama membaginya kepada empat kelompok:
- Kelompok Pertama: Taurat[3] atau kitab yang lima yang dinisbatkan kepada Musa ‘alayhissalam yang disebut dengan “Pantateuch”, yaitu:
- Kitab Kejadian, yang juga disebut dengan “penciptaan” (Genesis);
- Kitab Keluaran (Exodus);
- Kitab pendeta-pendeta, disebut dengan Kitab Lewi (Leviticus);
- Kitab Bilangan (Numbers);
- Kitab Ulangan (Deuteronomy).[4]
- Kelompok Kedua: kitab-kita sejarah yang terdiri dari 12 kitab:
- Kitab Yosua* anak Nun (Joshua – Josue);
- Kitab Hakim-Hakim*;
- Kitab Rut (Ruth)*;
- Kitab I Samuel;
- Kitab II Samuel;
- Kitab I Raja-Raja;
- Kitab II Raja-Raja;
- Kitab I Tawarikh (Chronicles);
- Kitab II Tawarikh*;
- Kitab Ezra*;
- Kitab Nehemia (Nehmea), disebut dengan kitab milik Ezra;
- Kitab Ester (Esther).[5]
- Kelompok Ketiga: kitab-kita kidung yang berjumlah lima kitab. Diantaranya mengandung kisah “cumbu-rayu” yang kotor:
- Kitab Ayub (Job);
- Mazmur Dawud (Psalms);
- Amsal (Provebs);
- Pengkhotbah (Song of Solomon);
- Kidung Agung (Conticle of Canticle).[6]
- Kelompok Keempat: kitab para nabi, jumlahnya
- Kitab Yesaya (Isaiah – Isaias);
- Kitab Yeremia (Jeremias – Jeremiah);
- Kitab Ratapan Yeremia (Lamentaions);
- Kitab Yehezkiel (Ezechiel – Ezekiel);
- Kitab Daniel;
- Kitab Hosea (Hosea – Osee);
- Kitab Yoel (Joel);
- Kitab Amos;
- Kitab Obaja (Obadiah – Abadias);
- Kitab Yunus (Jonah – Jonas);
- Kitab Mikha (Micah – Micheas);
- Kitab Nahum;
- Kitab Habakuk (Habacuc – Habakkuk);
- Kitab Zefanya (Zephaniah Sophonias);
- Kitab Hagai (Haggai Aggeus);
- Kitab Zakharia (Zechariah);
- Kitab Maleakhi (Malachi).[7]
Kitab-kitab Apocrypha
Kitab-kitab tersebut di atas (39 kitab) merupakan kitab-kitab yang disepakati oleh mayoritas pemeluk Kristen Protestan. Di samping itu, terdapat beberapa kitab yang disebut dengan “Kitab-kitab yang disembunyikan” alias “terlarang” atau tidak boleh dibaca. Kitab-kitab tersebut adalah: Tobit (Tobias), Yudit (Judith), Makabe 1, Makabe 2, Makabe 3 dan Makabe 4 (Machabess), Kebijaksanaan (Wisdom), dan Barukh.[8]
II. Sejarah Teks PL
Pada bagian ini, kita mencoba untuk menyelisik kondisi teks Taurat lewat sumber-sumber Yahudi. Prof. Al-A‘zamî membagi kondisi Taurat ke dalam dua bagian penting:
- Musa Menyampaikan Taurat Kepada Imam-Imam Lewi yang Meletakkannya di Sampint Peti
9 Dan Musa menuliskan hukum Tuhan, dan memberikannya kepad imam-imam Lewi yang ditugaskan untuk mengurus Peti Perjanjian Tuhan, dan kepada para pemimpin Israel.
10 Dan Musa memerintahkan kepada mereka, “Pada akhir tiap tahun ketujuh, dalam tahun penghapusan utang, pada pesta Pondok Daun,
11 Ketika orang-orang Israel datang menyembah Tuhan di tempat yang dipilih-Nya, kamu harus membacakan hukum-hukum ini di depan mereka semua.
12 Suruhlah semua orang laki-laki, perempuan dan anak-anak seta orang asing yang tinggal di kota-kotamu berkumpul untuk mendengar pembacaan itu, supaya mereka belajar menghormati dan takut kepada Tuhanmu serta setia menaati perintah-perintah-Nya.”[9]
24 Lalu Musa menuliskan hukum Tuhan dalam sebuah buku. Ia menuliskannya dengan teliti dari awal hingga sampai akhir.
25 Ketika selesai, ia berkata kepada para imam Lewi yang ditugaskan untuk mengurus Peti Perjanjian,
26 “Ambillah buku hukum ini, dan taruhlah di sebelah Peti Perjanjian Tuhanmu, supaya tetap ada di situ sebagai kesaksian terhadap kamu.
27 Karena saya tahu kamu pendurhaka, pemberontak dan keras kepala. Lihatlah, selagi saya masih hidup pun kamu berontak melawan Tuhan; apalagi nanti setelah saya mati!
29 Karena saya tahu bahwa setelah saya mati, kamu akan sepenuhnya menjadi jahat dan menolak apa yang sudah saya perintahkan kepadamu; dan kelak bencana akan menimpamu; karena kamu jahat di mata Tuhan, membuat-Nya marah dengan melakukan apa yang dilarang-Nya.”[10]
b. Taurat Hilang dan Ditemukan Kembali
Membuktikan esksistensi Taurat dan penggunaannya pada masa Rumah Tuhan yang Pertama adalah sangat sulit. Aaron Demsky berkata:
“Ciri lain tentang tahun sabbat adalah pembacaan Taurat secara publik sewaktu hari raya Booth..., yang mengakhiri tahun itu (Ulangan 31: 10-13). Tidak terdapat bukti tekstual yang memperlihatkan perayaan tahun-tahun sabbat dan jubilee pada masa Rumah Tuhan yang Pertama. Pada kenyataannya, pengarang Tawarikh...menyatakan bahwa 70 tahun sabbat dari penaklukan Kanaan oleh bangsa Israel sampai runtuhnya Rumah Tuhan tidak pernah ditaati.”*
Menurut dokumen Damsyik (yang tujuh kopi darinya ditemukan dalam Kertas Gulungan Laut Mati – the Dead Sea Scrolls ) Tuhan memberikan Taurat kepada Musa secara keseluruhan dalam bentuk tertulis. Bagaimanapun juga, tulisan-tulisan ini disegel dalam peti selama kira-kira lima abad, dan oleh karenanya tidak dikenal oleh banyak orang. Membincangkan masalah hubungan perzinaan David dengan Batsheba*dan kenapa dia tak dihukum mati, dokumen Damsyik menjawab, “Buku-buku Hukum telah disegel dalam Peti semenjak masa Yosua (± 1200 S.M.) sampai masa Raja Yosia dari Yehuda (abad ketujuh S.M.), ketika buku-buku tersebut ditemukan kembali dan dipublikasikan (lihat 2 Raja-raja 22).”* Artinya, bahwa David dan para rabbi yang sezamannya sepenuhnya tak tahu apa yang tertulis dalam Taurat.
Masalah apakah dulunya Taurat diletakkan di dalam Peti (the Ark) atau hanya di sampingnya, sangatlah pelik dan membingungkan. Peti itu sendiri pada saat ditemukan kembali, 50.070 orang Israel dari kota Bet-Semes dimusnahkan Tuhan karena berani coba-voba menengok di dalam Peti.* Tatkala Raja Salomon memerintahkan agar Peti dipindahkan ke Rumah Tuhan yang Pertama, I Raja-raja 8: 9 memberitahukan kita bahwa di dalamnya tak ada satu pun kecuali dua tablet (lempengan batu) yang dibawa Musa dari Sinai –tidak seluruh Hukum Tuhan. Bahkan seandainya Taurat disimpan terpisah dari Peti, itu pun tampaknya Taurat juga telah hilang seluruhnya dari kehidupan bangsa Yahudi selama berabad-abad. Tujuh puluh tahun sabbat (lima abad), jika tidak malah lebih, berlalu tanpa ada pembacaan Hukum Tuhan secara publik, yang berpuncak pada pengenalan tuhan-tuhan asing dan ritus-ritus pagan kepada rakyat Israel.
Tentu hal ini merupakan indikasi jelas bahwa Taurat sejak itu telah terhapus dari memori kolektif bangsa ini. Baru sampai tahun kedelapan belas dari pemerintahan Raja Yosia (640-609 S.M.) Taurat ini ‘secara ajaib’ ditemukan kembali,’* bertepatan dengan pembaruan menyeluruh yang dicanangkan Yosia melawan praktik kurban anak dan ritual-ritula pagan yang lain. Namun Taurat masih tidak dipergunakan secara umum untuk waktu dua abad lagi paling tidak. Tampaknya Taurat ini menghilang dari kesadaran orang-orang Yahudi secara tiba-tiba persis seperti kemunculannya. Ada bukti yang bagus untuk mengatakan bahwa pembacaan dan penjelasan Hukum Tuhan pertama kali dilakukan secara publik (setelah masa Musa) hanyalah terjadi pada saat pengumumannya oleh Ezra ± 449 S.M. Perlu dicatat bahwa terdapat gap yang sangat besar yang melebihi 170 tahun antara masa ditemukannya kembali Hukum Tuhan (621 S.M.) dan masa Ezra membacakannya secara publik.*
III. Kritik Sanad PL
Umat Yahudi-Kristen sepakat bahwa lima kitab pertam dalam PL dinisbatkan kepada Musa ‘alayhissalam. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah benar kelima kitab tersebut benar-benar diturunkan oleh Allah kepada nabi Musa?
Ada satu syarat penting, agar suatu kitab itu disebut “samawiy” (berasal dari langit: Tuhan): dia harus benar-benar memiliki sanad yang qath‘iy, tanpa ada perubahan dan penyelewengan. Nah, di sini kita akan menguji konsep sanad ini terhadap PL.
Jadi, klaim bahwa satu kitab itu ditulis berdasarkan ‘wahyu langit’, sehingg ia “wajib” diterima oleh manusia harus berdasarkan kepada dua hal:
Pertama, Dia harus valid secara tegas bahwa seorang naabi telah menulisnya atau menuangkannya berdasarkan wahyu Tuhan. Dan kedua, Kitab tersebut sampai kepada kita lewat sanad yang bersambung dan mutawair (al-sanad al-muttashil-al-mutawâtur): yang diterima oleh seluruh manusia dari yang sepertinya (manusia-manusia tersebut), tanpa ada “perubahan” dan “penukaran”.
Kedua syarat di atas harus berdasarkan “keyakinan” (benar-benar valid dan meyakinkan). Jika hanya sekedar “khayalan” (al-wahm), atau “perkiraan” (al-zhann), maupun “taksiran/dugaan” (al-takhmîn) atau hanya sekedar klaim dari satu sekte/aliran – tanpa ada bukti kuat – bahwa kitab ini buatan nabi fulan, maka ini tidak cukup. Bahkan, ini tidak layak mendapat atensi (perhatian).[11]
Spinoza (1636-1677 M) dan Sanad PL
Kritikus besar terhadap Taurat dari kalangan ilmuwan Yahudi adalah filsuf Baruch Spinoza. Poin-poin kritiknya terhadap PL dapat diringkas sebagai berikut:
Apakah penisbatan kitab yang lima (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) kepada Musa benar? Atau dengan kata lain: Apakah Musa menulis kitab yang lima yang dinisbatkan kepadanya? Dia juga meneliti ketidakbenaran kandungan kitab-kitab PL. Apakah kitab-kitab ini – termasuk di dalamnya Taurat – memiliki penulis yang banyak, atau hanya seorang? Ia juga membahas tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip dalam mengetahui Bible serta berbagai kesulitan yang dihadapi oleh seorang peneliti dalam melakukannya.
Spinoza berpendapat bahwa dasar yang paling penting dalam mengetahui Bible adalah “pengetahuan historis dan kritik (al-ma‘rifah al-târîkhiyyah wa al-naqdiyyah) Bible. Ia menjelaskan bahwa para ilmuwan klasik Yahudi-Kristen tidak concern terhadap pengetahuan tersebut, meskipun hal itu sangat mendesak (penting). Meskipun mereka telah menulisakannya, namun telah hilang. Untuk selanjutnya, sebagian besar dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip metodologik yang sangat penting itu pun hilang.[12]
Kita mengetahui bahwa yang disarankan oleh Spinoza dalam mengetahui Bible ketika kita membaca penjelasannya secara rinci, dan apa yang dimaksudkannya dengan sangat rinci dan detail itu. Ia menyatakan, “Penyelidikan historis (al-fahsh al-târîkhiy) ini harus berkaitan dengan kitab-kitab para nabi dengan segala kondisi khusus yang melingkupinya seperti yang direkam oleh memori untuk kita. Maksud saya adalah: kepribadian sang penulis setiap kitab, moralnya, tujuan yang ingin dicapainya – dari penulisan kitabnya itu – dan siapa dia? Dalam momen apa dia menulis kitabnya? Kapan? Untuk siapa dia menulisnya? Dengan bahasa apa dia menulisnya?
Sebagaimana penyelidikan itu harus memberikan kondisi-kondisi khusus bagi setiap kitab secara tegas: Bagaimana ia pertama kali dikumpulkan? Tangan-tangan apa yang melakukannya? Berapa jumlah teks yang berbeda yang diketahui tentang teks itu? Siapa yang memutuskannya agar kitab tersebut dimasukkan dalam susunan Bible? Dan terakhir: Bagaimana kitab-kitab kanonik dan diakui oleh Yahudi-Kristen itu dikumpulkan dalam satu kumpulan?
Saya menyatakan: penyelidikan sejarah harus mencakup hal-hal tersebut. Merupakan keharusan, kepribadian para penulis itu untuk diketahui, moral mereka serta tujuan yang ingin dicapainya. Ini jika kita tambahkan bahwa kita dapat menafsirkan – dengan sangat mudah – perkataan-perkataan siapa pun, jika pengetahuan kita tentang kejeniusan khusus yang dimilikinya dan sifat nalarnya telah bertambah. Tetapi kita juga mengetahui, jika terdapat ‘tangan berdosa’ yang melakukan “korupsi/distorsi” (tahrîf) teks – atau dalam kodisinya yang tidak didistorsi – jika telah masuk ke dalamnya beberapa kesalahan!! Kita harus mengetahui hal tersebut, agar kita tidak berjalan seperti orang buta sehingga dengan mudah kita untuk berbuat salah. Sehingga, kita tidak menerima melainkan yang meyakinkan, yang tidak dimasuki oleh keraguan.[13]
Dalam bukunya Tractatus Theologico-Polititus, Spinoza mengkritik penafsir Yahudi, Eben Ezra bahwa Musa tidak menuliskan Taurat (kitab lima pertama dalam PL). Secara meyakinkan Spinoza menyatakan:
“Dari catatan-catatan ini, tampak dengan jelas bahwa Musa tidak menulis kitab yang lima, tetapi orang lain yang telah menulisnya yang hidup beberap abad setalah kematian Musa.”
Dr. al-Syarqâwî memberikan catatan dari pernyataan Spinoza di atas. Beliau menyatakan bahwa kita harus meneliti catatan-catatan Spinoza yang mengantarkannya kepada kesimpulan yang akurat tersebut. Pertama kali, dia mengkritik pendahulunya, Eben Ezra, karena dia “telah melupakan hal yang sangat penting yang dapat dijelaskan sebagai catatan kritis yang lain: yang lebih penting ditujukan kepada kitab-kitab tersebut. Kemudian, Spinoza memberikan empat catatan kritis yang harus dicermati, yaitu:
- Kitab-kita yang lima tidak saja berbicara tentang Musa dengan menggunakan kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ’ib), tetapi memberikan banyak kesaksian tentang Musa. Hal itu mengindikasikan ketidakmungkinan Musa yang memberikan untuk dirinya. Oleh karenanya, secara tegas hal itu menyatakan bahwa Musa bukan penulisnya. Kesaksian itu misalnya:
“Allah bercakap-cakap dengan Musa.”
“Allah bertemu Musa secara berhadapan.”
“Musa sangat lembut orangnya, dibandingkan dengan semua manusia.”*
“Lalu Musa menjadi murka kepada para perwira.”*
“Musa adalah kepercayaan Allah.”*
“Musa, pelayan Tuhan telah meninggal. Dan tidak akan bangkit setelah Musa seorang nabi yang sepertinya.”*
Kebalikan dari itu, Musa bercerita dan menceritakan segala pekerjaannya dengan menggunakan kata ganti orang pertama (dhamîr al-mutakallim) di dalam Kitab Ulangan yang di dalamnya ditulis syariat: yang dijelaskan oleh Musa kepada bangsanya (Israel), yang ia tulis dengan tangannya sendiri. Misalnya, ia mengatakan:
“Tuhan berbicara kepadaku.” “Aku memohon kepada Tuhan.”* Kecuali di akhir kitab, dimana sang penulis setelah menukil perkataan Musa, terus – bercerita di dalam penuturannya, bagaimana Musa memberikan syariat itu kepada bangsanya: yang dijelaskan oleh Musa secara tertulis. Kemudian, dia memberikan peringatan akhir kepada mereka. Setelah itu, ia meninggal.
Semua itu, kata Spinoza, (maksud saya: cara bercerita dan kesaksian, kumpulan-kumpulan teks cerita seluruhnya) mengajak untuk diyakini bahwa Musa tidak menulis buku-buku tersebut, tetapi orang lain yang menulisnya.
- Kita harus menyebutkan bahwa kisah ini – yang ada di dalam kitab-kitab yang sekarang – tidak hanya bercerita tentang kematian Musa, penguburannya dan “belasungkawa” orang-orang Ibrani atas kematiannya selama 30 hari, melainkan juga meriwayatkan bahwa Musa melebihi para nabi, jika dibandingkan dengan nabi-nabi yang datang setelahnya:
“Tidak akan bangkit seorang nabi seperti Musa yang berbicara dengan Allah dengan berhadap-hadapan.”*
Ini merupakan sebuah kesaksian yang tidak mungkin diucapkan oleh Musa, atau orang lain yang datang secara langsung setelah dia. Itu merupakan kesaksian orang yang hidup berabad-abad setelah Musa dan – orang – yang membaca tentang para nabi setelah Musa. Apalagi seorang sejarawan itu menggunakan kata yang menyatakan: “Tidak akan ada lagi seorang nabi dari kalangan Israel.”
Dan menyatakan tentang kuburan: “Tidak ada seorang pun yang tahu kuburannya sampai hari ini.”
3. Harus kita sebutkan juga, bahwa perkataan filsuf Spinoza, bahwa sebagian tempat, tidak menggunakan nama yang ia dikenal dengan namanya itu pada zaman Musa. Tetapi, nama-nama tempat itu dinisbatkan dan dikenal setelah kematiannya dalam jarak waktu yang cukup lama. Karena dikatakan – di dalam Taurat – bahwa Ibrahim “menguntit” musuh-musuhnya sampai daerah Dan.* Dan bukan satu nama kota – yang dicakupnya – kecuali setelah kematian Yosua dalam waktu yang lama (Yosua adalah anak Musa dan penggantinya) terdapat di dalam Kitab Hakim-hakim:
“Mereka menamakan kota itu Dan, dengan menggunakan nama leluhur mereka yang dilahirkan untuk Israel. Nama kota itu sebelumnya adalah Lais.”*
Bagaimana mungkin Musa menyebutkan – sementara dia menceritakan kisah Ibrahim ‘alayhissalam: bahwa dia adalah serius dalam mencari musuh-musuhnya sampai ke kota Dan, sementara kota itu tidak disebut “Dan”, kecuali setelah waktu yang lama sekali?!!
4. Riwayat-riwayat Taurat – dalam beberapa kesempatan – “melebar” sampai zaman sebelum Musa. Kitab Keluaran meriwayatkan: “Bani Israel makan Manna selama empat puluh tahun hingga sampai mereka tiba di Kanaan, tempat mereka tinggal.”* Artinya, sampai batas yang diceritakan oleh Kitab Yosua.*
Kitab Kejadian bercerita tentang raja-raja yang memerintah orang-orang Adom pada zaman Dawud --- setelah Musa dalam waktu yang sangat lama. “Raja-raja itu yang berkuasa di tanah Adom sebelum dikuasai oleh raja Bani Israel.”*
Inilah beberapa catatan kritis atau bukti-bukti yang diberikan oleh Baruch Spinoza, sebagai tambahan dari apa yang ditulis oleh Eben Ezra. Berdasarkan dari catatan-catatan tersebut, Spinoza menyimpulkan:
“Dari seluruh catatan tersebut tampak jelas bahwa Musa tidak menulis kitab yang lima, melainkan orang lain yang menulisnya: yang hidup beberap abad setelah Musa.”[14]
Memang, Taurat yang ada di tangan kaum Ahli Kitab tidak memiliki sanad, apalagi ditransmisikan secara mutawâtir. Menurut Abdul Wahhab Abdus Salam Thawilah, dengan mengutip Maurice Bucaille, para ilmuwan Kristen sekarang mengakui bahwa Taurat yang ada sekarang tidak ditulis oleh Musa. Penambahan secara gradual telah terjadi di dalamnya. Hal itu ditimbulkan oleh beberap sebab dan kondisi agama dan sosial, yang dilakukan oleh banyak penulis setelah Musa.[15]
Memang, kalau ingin ditanyakan siapa pengarang PL atau Taurat itu, jawabannya sangat apologetik. Menurut Maurice Bucaille. Hal ini dengan panjang lebar dijabarkan oleh Maurice Bucaille. Ia menulis:
“Kebanyakan pembaca Perjanjian Lama yang menerima pertanyaan tersebut di atas akan menjawab dengan mengulangi apa yang pernah mereka baca dalam Kata Pengantar Bibel, yaitu yang mengatakan bahwa fasal itu semua adalah karangan Tuhan, walaupun ditulis oleh orang-orang yang mendapat wahyu dari Ruhul Kudus. Kadang-kadang orang yang memperkenalkan Bibel tadi menganggap cukup dengan keterangan singkat tersebut, dan dengan begitu ia menutup kemungkinan untuk pertanyaan lebih lanjut; tetapi kadang-kadang ia menambah penjelasan bahwa mungkin ada perincian-perincian yang ditambahkan orang dalam teks lama, akan tetapi meskipun begitu, perbedaan faham tentang sesuatu ayat, tidak merubah kebenaran keseluruhan. Orang selalu menekankan kepada “Kebenaran” yang dijamin oleh Kepala Gereja, yaitu orang yang mendapat bantuan dari Ruhul Kudus, satu-satunya pihak yang berhak menerangkan sesuatu kepada orang-orang yang percaya. Bukankah Gereja, semenjak konsili-konsili abad ke 4 telah meresmikan daftar Kitab Suci yaitu daftar yang dikuatkan oleh konsili Florence (1441), Trente (1546) dan Vatikan I (1870) untuk menjadi Kanon (Injil Induk). Belum lama ini, setelah mengeluarkan bermacam-macam encyclique (dekrit), Paus telah mengumumkan suatu keterangan tentang Refelasi (wahyu) dalam bentuk suatu teks yang sangat penting yang disusun selama tiga tahun (1962-1965). Kebanyakan orang yang membaca Bibel mendapatkan keterangan-keterangan yang menenteramkan hati itu di permulaan cetakan modern serta merasa puas dengan jaminan kebenaran yang telah diberikan selama beberapa abad dan mereka itu tak pernah memikirkan bahwa orang dapat mendiskusikan isi Bibel. Akan tetapi jika seseorang membaca buku-buku yang ditulis oleh ahli-ahli agama, yakni buku-buku yang tidak dimaksudkan untuk dibaca oleh orang awam, ia akan menyadari bahwa soal autentitas kitab dalam Bibel itu jauh lebih kompleks daripada pemikiran orang biasa. Jika salah seorang membaca umpamanya, cetakan modern dari pada Bibel yang diterjemahkan ke bahasa Perancis di bawah asuhan Lembaga Bibel di Yerusalem dan diterbitkan dalam bagian-bagian terpisah, ia akan mendapatkan suara yang sangat berbeda, dan ia akan mengerti bahwa Perjanjian Lama, seperti juga Perjanjian Baru, telah menimbulkan problema-problema yang para ahli tafsir tidak menyembunyikan unsur-unsurnya yang menimbulkan khilaf. Kita juga mendapatkan unsur-unsur yang pasti dalam pembahasan yang lebih ringkas akan tetapi obyektif, seperti dalam buku karangan Professor Edmond Yacob “Perjanjian Lama,” yang diterbitkan oleh Presse Universitaire de France, dalam seri yang berjudul: “Que Sais-je?” (Apakah yang Saya Ketahui?). Buku tersebut memberi gambaran yang menyeluruh. Banyak orang yang tidak tahu bahwa pada permulaannya, seperti yang dikatakan Edmond Jacob, terdapat beberapa teks Perjanjian Lama dan bukan teks tunggal. Pada abad III SM sedikitnya ada tiga teks Ibrani, yaitu teks massorethique, teks yang dipakai untuk terjemahanYunani dan teks kitab Taurat Samaria. Pada abad pertama SM, ada kecenderungan untuk membentuk teks tunggal, akan tetapi hal tersebut baru terlaksana satu abad kemudian. Jika kita mempunyai tiga teks tersebut di atas, tentu kita dapat melakukan studi yaitu gulungan yang berasal dari zaman sebelum timbulnya agama Kristen,perbandingan dan kita mungkin dapat mempunyai idea tentang teks yang asli, akan tetapi kita tak mempunyai teks tersebut di atas. Selain gulungan-gulungan yang terdapat di gua Qumran pada tahun 1947, dan dekat sebelum munculnya Nabi Isa, telah terdapat Papyrus Decalogue berasal dari abad II M, dan mengandung perbedaan-perbedaan dari teks klasik, begitu juga fragmen Perjanjian Lama, yang ditulis orang pada abad V M. (Fragmen Geniza, Cairo); selain itu semua, teks Bibel Ibrani yang paling tua adalah teks abad IX M.Terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani terjadi pada abad III sebelum Masehi. Teksnya dinamakan Septuagint (berarti tujuh puluh; yakni jumlah orang yang menterjemahkan). Terjemahan tersebut dilakukan oleh orang-orang Yahudi di Alexandria. Pengarang-pengarang Perjanjian Baru bersandar kepada teks tersebut, dan teks tersebut dipakai orang sampai abad VII M. Pada waktu sekarang teks Yunani yang dipakai Dunia Kristen adalah manuskrip (tulisan tangan) yang dinamakan Codex Vaticanus yang disimpan di Vatican dan Codex Sinaiticus (berasal dari Sinai) yang disimpan di British Museum di London. Manuskrip tersebut ditulis pada abad IV M. Terjemahan dalam bahasa Latin dilakukan oleh Jerome dari dokumen-dokumen Ibrani pada permulaan abad V M.Terjemahan Latin ini kemudian dinamakan Vulgate oleh karena telah tersebar diseluruh Dunia sesudah abad VII M. Perlu kita ketahui juga bahwa ada terjemahan Aramaik dan Syriaks akan tetapi terjemahan itu hanya mengenai beberapa bagian dari Perjanjian Lama. Bermacam-macam terjemahan tersebut telah diolah oleh beberapa orang ahli dan dijadikan teks tengah-tengah; yakni yang merupakan kompromi antara bentuk-bentuk yang berbeda-beda. Ada pula yang mengumpulkan bermacam-macam terjemahan disamping Bibel Ibrani seperti terjemahan Yunani, Latin, Syriak, Aramaik dan Arab. Kumpulan itulah yang tersohor dengan nama Bibel Walton (London tahun 1657). Perlu kita tambahkan pula bahwa diantara Gereja-gereja Masehi yang bermacam-macam sekarang keadaannya adalah bahwa Gereja-gereja itu tidak menerima fasal-fasal yang sama dalam Bibel, dan Gereja-gereja tersebut juga tidak mempunyai pengesahan yang sama mengenai terjemahan-terjemahan dalam satu bahasa. Usaha-usaha untuk mempersatukan masih dilakukan dan terjemahan Ekumenik (persatuan) yang dilakukan oleh ahli-ahli Katolik dan Protestan mengenai Perjanjian Lama ternyata akan meng hasilkan sintesa (perpaduan).
Dengan begitu maka usaha manusia mengenai teks Perjanjian Lama ternyata sangat besar, dan dengan mudah kita mengetahui bahwa sebagai akibat koreksi-koreksi antara versi yang bermacam-macam dan terjemahan yang bermacam-macam, teks yang asli sudah berubah selama dua ribu tahun.[16]
Dengan demikian, tampak jelas bahwa untuk mengklaim bahwa Taurat sekarang adalah “asli” sangat tidak dapat diterima oleh akal, berdasarkan fakta-fakta yang disebutkan di atas. Hal ini disebabkan bahwa di kalangan Yahudi-Kristen tidak ada konsep penting dalam transmisi, yaitu sanad. Sangat berbeda dengan transmisi teks Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., yang kedua-duanya harus ditransmisikan lewat sanad-sanad yang benar-benar sahih dan tsiqat. Dengan demikian, autentisitas Al-Qur’an terjamin.
IV. Kritik Matan (Teks) PL
PL yang ada di tangan kaum Ahli Kitab sekarang, merupakan PL yang wajar untuk dipertanyakan atutentisitasnya, khususnya adalah matan (redaksinya). Dari dua versi Pentateuch, Samara dan Yahudi saja sudah terdapat 6000 perbedaan.[17]
Seseorang tentu tergoda untuk bertanya berapa banyak dari 6000 perbedaan ini yang disebabkan karena perubahan-perubahan Samaria, dan berapa banyak yang disebabkan karena perubahan-perubahan Yahudi. Sebagaimana yang akan kita saksikan pada halaman*..., tidak ada satu versi otoritatif apa pun dari PL yang wujud sebelum paling kurang abad pertama S.M., apalagi suatu versi otoritatif yang ditransmisikan dengan kadar ketelitian yang appreciable. Cermatilah bahwa paling kurang dalam seribu sembilan ratus hal yang disepakati antara Septuagint dan Samaria yang berlawanan dengan teks Masoretik, orang-orang Yahudi telah mengubah teks yang terakhir ini. Septuagint[18] muncul kira-kira abad ke-3 S.M. di bawah arahan (menurut sumber-sumber tradisional) enam penerjemah dari setiap suku Israel yang berjumlah dua belas itu. Jadi, sekurang-kurangnya tiga atau empat abad memisahkan Septuagint dari kemungkinan tanggal yang lebih awal untuk sebuah edisi PL yang otoritatif. Berdasarkan pada permusuhan bebuyutan antara orang-orang Yahudi dan Samaria, dan keanggotaan yang terakhir (Samaria) bahwa hanya mereka saja yang memiliki resensi yang sempurna, maka kemungkinan suatu upaya Samaria yang dimaksudkan untuk mengubah Pantateuch mereka agar sesuai dengan Septuagint Yahudi agaknya sangat jauh. Dengan demikian jelas, kesimpulan yang terbaik adalah kekurangan atau perubahan telah terjadi dalam teks Masoretik mengenai seribu sembilan ratus hal itu, setelah abad ke-3 S.M., untuk mengatakan tidak adanya kecurangan atau perubahan sebelum tarikh tersebut, yang jika memang demikian, harus dilemparkan ke Septuagint.[19]
Lebih celaka lagi, ternyata umat Yahudi-Kristen mengubah teks ketika dirasakan alasan-alasan doktrinal yang cukup. Menurut Prof. Al-A‘zamî, bagaimana pun juga, kita harus lebih mencermati perubahan-perubahan yang disengaja, sebab secara natural hal ini lebih serius. Sampai abad-abad Pertengahan teks PL belum lagi mapan (established), dan “sebelumnya secara resmi ditetapkan pun, teks PL tidak pernah dianggap sebagai sebagai tak boleh diubah.” Oleh karena itu, para juru tulis dan perawi (transmitter) kadang-kadang melakukan perubahan-perubahan secara sengaja yang, terlepas dari apa niat mereka, telah membuktikan cita-ras yang sanga real untuk mengubah teks asli. Manuskrip-manuskrip yang serupa menunjukkan bahwa bahkan teks Masoretik pun, yang memang dimaksudkan untuk memelihara PL dari perubahan-perubahan lebih lanjut, tidak terkecuali immun dari fenomena ini.
Namun perbaikan teks tradisional awal, merekonstruksinya dan memeliharanya agar terhindar dari kritik, hanyalah salah satu tanda-tanda kesibukan para rabbi dengan teks [Masoretik]. Tanda ke-dua menyiratkan sebuah tendensi yang berlawanan. Terdapat bukti yang jelas bahwa tidak ada rasa cemas apa pun dalam mengubah teks ketika di sana agaknya terdapat alasan-alasan doktrinal yang cukup.
Apakah gerangan sebagian alasan-alasan doktrinal yang mendesak ini? Kadang-kadang hanyalah masalah linguistik saja, mengubah suatu kata asing atau kurang dikenal dengan kata-kata yang lebih umum. Terkadang juga menyangkut masalah pembuangan susunan kata yang secara religius ofensif, or (yang lebih serius dari semuanya) masalah penyusupan kata-kata tertentu untuk mendukung satu interpretasi yang mungkin dari suatu ayat di atas seluruh interpretasi lainnya. Tradisi Yahudi memelihara sebagian catatan perubahan-perubahan tekstual ini dikenal dengan the Tiqqun Sopherim dan Itture Sopherim, yang sudah barang tentu secara relatif merupakan karya-karya belakangan.
a) Tiqqun Sopherim mencatat beberapa revisi tekstual yang dilakukan karena alasan-alasan doktrinal. Satu tradisi Masora, misalnya, menyinggung delapan belas posisi di mana teksnya telah berubah untuk membuang “eskpresi-ekspresi yang tidak dapat disetujui mengenai Tuhan”.
b) Itture Sopherim mencatat kata-kata beragam dalam teks asli yang secara sengaja dibuang para juru tulis. Misalnya. Talmud Babilonia[20] (Ned. 37b) menyebut lima tempat dimana kata-kata tertentu harus dilewati, dan tujuh tempat yang lain kata-kata tertentu harus dibaca meskpun dalam teks asal tidak ada.
Tidak mungkin kita salah dalam menganggap bukti tradisi-tradisi ini hanya sebagai sepenggal kecil dari seluruh proses yang lebih panjang.[21]
Bahkan, menurut Prof. Al-A‘zamî, tidak ada satu pun teks PL yang otoritatif sampai tahun 100 M. Beberapa manuskrip dari Qumran (sumber Gulungan-gulungan dokumen Laut Mati) begitu dekat dengan teks Masoretik sebagaimana yang diseleksikan pad abad pertengahan. Dengan mengutip Wurthwein, Prof. Al-A‘zamî menyatakan:
“Akan tetapi meskipun ada semua kemiripan superfisial itu di sana terdapat satu perbedaan yang desisisf: teks Qumran dari tipe Masoretik hanyalah satu dari sekian banyak tipe yang umum digunakan yang sangat beragam...dan tidak terdapat indikasi apa pun bahwa teks tersebut dianggap sebagai lebih otoritatif daripada yang lain. Boleh kita simpulkan bahwa mengenai Qumran, dan secara meyakinkan juga seluruh Yudaisme, tidak terdapat satu pun teks yang otoritatif.”
Hanya pada masa kebankitan Yahudi yang berikutnya, salah satu dari berbagai teks ini benar-benar memperoleh pengakuan akan keunggulannya, mengalahkan yang lain yang selama ini beredar luas hingga pada abad pertama Masehi. Pada kenyataannya, gua-gua Qumran mengandung tiga tipe teks yang berlainan: Pentateuch Samaria, Septuagint, dan Masoretik. Wurthwein menegaskan bahwa yang disebut terakhir dari ketiga teks ini paling tidak telah memperoleh otoritasnya pada waktu antara tahun 70-135 M., meskipun kesimpulan ini sebenarnya berdasar pada penanggalan ang salah mengenai beberapa gua Qumran dan Wâdî Murabba‘ât,...[22]
V. Beberapa Kandungan Bible: Ayat-ayat yang Kontroversial
Pada bagian ini, kita mencoba mengetengahkan beberapa ayat Bible yang sangat tidak sesuai dengan sebuah kita yang disebut dengan “Kitab Tuhan” ini. Ahmed Deeda, dalam magnum opus-nya, The Choice, banyak sekali memberikan contoh dari isi PL yang sangat tidak pantas untuk dicantumkan di dalam Kitabullah – jika benar bahwa Bible diklaim sebagai Kitabullah. Di antaranya:
A. Kemustahilan di dalam kitab Tuhan
1. Seekor keledai berbicara (Bilangan 22: 27-28);
2. Unggas berkaki empat (Imamat 11: 20);
3. Kelahiran anak perempuan mempunya masa nifas dua kali lebih banyak (Imamat 12: 1, 2, 5);
4. Samgar membunuh 600 orang dengan tulang rahang keledai (Hakim-hakim 3: 31);
5. Memakan tahi dan meminum air kencing (2 Raja-raja 18: 27 dan Yesaya 36: 12);
6. Kotoran pada muka para imam (Maleakhi 2: 3);
7. Memakan roti dengan tahi (Yehezkiel 4: 12-15);
8. Samso berhubungan seks dengan pelacur di Gaza (Hakim-hakim 16: 1);
9. Rut tinggal bersama sebagai suami istri dengan Boaz di tempat mengerikan (Rut 3: 4-15);
10. Daud tidur dengan perawan yang masih muda (1 Raja-raja 1: 1, 3).[23]
B. Pertentangan Dalam PL
1. Ditulis bahwa Daud menahan 1700 tentara (2 Samuel 8: 4), tetapi disebutkan 700 tentara di 1 Tawarikh 18: 4);
2. Daud membunuh 700 ekor kereta kuda (2 Samuel 10: 18) tetap ada disebutkan lain yaitu 7000 ekor kereta kuda (1 Tawarikh 19: 8);
3. Ahazia menjadi raja ketika berusia 22 tahun (2 Raja-raja 8: 26), tetapi disebutkan juga 42 tahun;
4. Yoyakim menjadi raja ketika berumur 18 tahun (2 Raja-raja 24: 8), dalam di (2 Tawarikh 36: 9) dia menjadi raja saat berumur 8 tahun;
5. Dalam Kejadian 6: 3 ditulis bahwa umur Nuh hanya 120 tahun saja, tetapi di Kejadian 9: 29 Nuh mencapati umur 950 tahun;[24]
6. Sulaiman memiliki 2000 kamar mandi atau 3000 kamar mandi? (Kitab – 1 Raja-raja 7: 26 vs 2 Tawarikh 4: 5);
7. Sulaiman memiliki 4000 atau 40.000 kandang kuda? (Kitab – 2 Tawarikh 9: 25 vs 1 Raja-raja 4: 26);
8. Apakah Saul meminta petunjuk dari Tuhan atau tidak meminta petunjuk? (Kitab – 1 Samuel 28: 6 vs 1 Tawarikh 10: 13-14);[25]
9. “Semua berdosa.” (Kitab – 2 Tawarikh 6: 36). Bertentangan dengan : “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi...” (Injil – Yohanes 3: 9).[26]
C. Menodai Kesucian Tuhan
1. Tuhan bersuit (?) (Kitab – Yesaya 5: 26, 7: 18, Zakharia 10: 6);
2. Tuhan mengaum (?) (Kitab – Yesaya 42: 13, Yeremia 25: 30);
3. Tuhan mencukur (?) (Kitab – Yesaya 7: 20);
4. Tuhan menyesal (?) (Kitab – Yeremia 15: 6, Kejadian 6: 6);
5. Tuhan mengendarai kerub (Kitab – 2 Samuel 22: 11);
6. Tuhan membunuh 50.070 karena melihat tabut Tuhan (?)* (Kitab – 1 Samuel 6: 19).[27]
D. Melecehkan Nabi Allah
1. “Setelah ia (Nuh) minum anggur, mabuklah ia, dan ia telanjang dalam kemahnya.” (Kitab – Kejadian 9: 21);
2. “Ia (Saul) pun menanggalkan pakaiannya, dan ia pun juga kepenuhan di depan Samuel. Ia rebah terhantar dengan telanjang sepanjang hari dan malam itu. Itulah sebabnya orang berkata: “Apakah juga Saul termasuk golongan Nabi?” (Kitab – 1 Samuel 19: 24);
3. “...Betapa raja orang Israel (Daud), yang menelanjangi dirinya pada hari ini di depan mata budak-budak perempuan para hambanya, merasa dirinya terhormat pada hari ini, seperti orang hina dengan tidak malu-malu menelanjangi dirinya!” (Kitab – 2 Samuel 6: 20);
4. “Berfirmanlah Tuhan: “Seperti hamba-Ku Yesaya berjalan telanjang dan tidak berkasut tiga tahun lamanya....tua dan muda, telanjang dan tidak berkasut dengan pantatnya kelihatan, suatu penghinaan bagi Mesir.” (Kitab – Yesaya 20: 3-4).[28]
E. Pornografi
1. Hubungan Seks Antara Ayah dan Dua Orang Anak Perempuannya: Malam-malam kedua anak Nabi Lot menggoda ayah mereka yang mabuk dan mendapatkan anak darinya. (Kitab – Kejadian 19: 30-36);
2. Anak laki-laki Berhubungan Dengan Ibunya: Ruben anak laki-laki tertua dari Yakub, pada saat ayahnya tidak ada, berhubungan seksual dngan istri ayahnya dan Israel (nama lakin Yakub) mendengarnya. Adegan ini dilaporkan kepadanya, tetapi dia tidak memarahi atau memukul anaknya atas kelakuan tersebut. Tuhan juga tidak memberikan sebuah kata celaan pun kepadanya. (Kitab – Kejadian 35: 22);
3. Yehuda Melakukan Perzinahan Dengan Menantu Perempuannya: Dia dengan segere menjadi hamil dan memberikan anak haram yang kembar yang kemudian menjadi nenek moyang Yesus Kristus. Ini berarti Tuhan memberi penghargaan kepada Yehuda dan keturunannya. (Kitab – Kejadian 38: 15-30);
4. Amnon, Salah Seorang Putra Nabi Daud Memperkosa Saudara Perempuannya: “Seorang anak laki-laki yang mulia dari seorang ayah yang mulia” berdasarkan kitab “Suci”*, Amnon dengan sebuah tipu daya yang hebat memperkosa saudara perempuannya Tamar dan Tuhan tidak menghukum atau menegurnya. (Kitab – 2 Samuel 13: 5-14);
5. Putra Daud Yang Lain Memperkosa Ibunya (10 kali berurutan): Absalom membentangkan sebuah kemah di atas Sotoh dan membaringkan 10 istri (gundik) ayahnya dan memperkosa mereka semuanya satu persatu, “di depan mata seluruh Bani Israel”. (Kitab – 2 Samuel 16: 21-23);
6. Yerusalem (Orang Yahudi) Pelacur Yang Tidak Pernah Puas: Tidak bangsa Asyur, Babylonia atau Mesir pernah dapat memuaskan pelacur Yahudi tersebut. Pelacur-pelacur lain dibayar oleh klien mereka atas pelayanan yang diberikan tetapi pelacur ini membayar klien mereka agar dilayani. “Dan membentangkan kakinya untuk setiap orang yang lewat!” (Kitab – Yehezkiel 16: 25);
7. Dua Orang Perempuan Bersaudara Berkompetisi Satu-Sama Lain dalam Prostitusi: “Bagi kegemarannya terhadap kekasih-kekasihnya yang auratnya seperti aurat keledai dan emisinya seperti emisi kuda.” (Kitab – Yehezkiel 23: 1-35).
Jika cuplikan kecil ini tidak memuaskan Anda, kata Deedat, maka bukalah pasal-pasal dan ayat-ayat Perjanjian Lama berikut ini di rumah. Jangan lupa untuk menandainya dengan warna merah agar mudah dijadikan referensi.*
a. “Dia memegang dan menciuminya...
“Marilah kita memuaskan birahi hingga pagi hari, dan bersama-sama menikmati asmara. Karena suamiku tidak di rumah,...” (Kitab – Amsal 7: 7-22);
b. Berkata wanita tersebut: “Rajaku sedang berbaring di dipannya...
“Kekasihku mempunyai penciuman dari Myrrh sewaktu dia berbaring pada buah dadaku.” (Kitab – Kidung Agung 1: 12-13);
c. Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku.
“...ketika saya menemuinya...Kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa ke rumah ibuku, ke kamar di mana aku lahir.” (Kitab – Kidung Agung 3: 1-4);
d. “Lihatlah, cantik engkau, manisku:
bibirmu bagaikan seutas pita kirmizi....
buah dadamu seperti anak rusa...
Lingkar pahamu seperti permata...
...Saya berkata: “Saya akan memanjat pohon palem...
Oh, budah dadamu seperti sekelompok anggur.” (Kitab – Kidung Agung 4: 1-7).
e. “Dan Simson pergi ke Gaza, dilihatnya di sana seorang perempuan sundal (seorang Wanita Tuna Susila), dan dia menghampirinya (melakukan hubungan seksual dengannya).” (Kitab – Hakim-hakim 16: 1).
George Bernard Shaw, pemikir dan dramawan besar Inggeris, sewaktu membaca Kitab Suci Injil dengan teliti mengatakan bahwa kitab tersebut adalah “Kitab yang paling berbahaya di bumi. Jaga kitab tersebut dalam keadaan terkunci: larang anak-anak Anda membacanya.”[29]
Mendiang Herbert W. Amstrong [1892-1986), seorang pastur terkemuka Wordlwide Church of God, di Amerika Serikat, yang juga Kepala Editor majalah Kristen terkenal di dunia Plain Truth, pada terbitannya edisi Oktober 1977 menyatakan sebagai berikut:
“Membacakan cerita-cerita Bible kepada anak-anak dapat menimbulkan segala macam kesempatan untuk membicarakan moralitas seks. Sebuah Bible yang belum dibersihkan boleh adi akan disensor karena dianggap terlalu porno.”[30]
Hemat penulis, semua orang yang memiliki “akal sehat” akan mengatakan dengan hati yang jujur bahwa semua ayat-ayat PL yang disebut di atas “tidak layak” dikategorikan sebagai “Firman Tuhan”. Sebuah kitab suci, seperti Bible, seharusnya tidak memuat ayat-ayat yang “menodai” kesucian Allah, ‘ishmah (proteksi dari perbuatan dosa) para nabi Allah, dan kata-kata “cabul” serta “provokasi pornografi.
Epilog
Dari pemaparan singkat tentang PL ini, kita semakin yakin bahwa Al-Qur’an tidak salah ketika – di dalamnya – Allah menyatakan bahwa orang-orang Yahudi melakukan tahrîf terhadap kita suci mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan beberapa poin di bawah ini:
Bible – dalam hal ini PL – tidak murni sebagai Firman Allah.
Kejanggalan dan kontroversial yang terdapat dalam ayat-ayat Bible mengindikasikan bahwa konsep tahrîf yang ada di dalam Al-Qur’an adalah benar.
Ketiadan sanad dalam transmisi ayat-ayat Bible menyebabkan umat Yahudi-Kristen terperosok ke dalam perkara yang dilematis: mempercayai, sekaligus meragukan keabsahan kitab suci mereka.
PL tidak memiliki naskah yang otoritatif untuk dijadikan sebagai pegangan yang kuat. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. (Abbas el-Akkad, 13 September 2006).
? Makah ini sudah disampaikan dalam dialog umum “Kajian Kristologi: Kupas Tuntas Bible” di Wisma Nusantara, Mesir, 15 September 2006. Disampaikan kembali dalan kajian pemikiran Islam Bayanul Islam di pendopo Masjid Unimed pada hari Sabtu, 26 April 2008.
[1] Dalam sejarah tradisi Islam, kajian terhadap kitab agama lain sudah lama dikenal. Sebagai contoh, kitab al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastâni (m. 528/1153), hingga kini terus menjadi bahan kajian di berbagai tempat. Steven M. Wassertrom menulis satu artikel berjudul “Shahrastani on the Maghariyya” di jurnal Israel Oriental Studies, mencatat, “Abu al-Fath Muhammad al-Karim al-Shahrastani (d. 528/1153) was arguably the greatest of all pre-modern historians of religion. His contribution to the study of religion has been recognized and properly lauded for over a century.” E.J. Sharpe dalam bukunya Comparative Religion, A History, menulis bahwa “The honour of writing the first history of religion in world literature seems in fact to belong to the Muslim Shahrastani.” (Israel Oriental Studies – Annual Publication of the Faculty of Humanities, Tel Aviv University, Jerusalem, 1997). Lihat, Adian Husaini M.A., Studi Awal Atas Keragaman Teks Bible, (Jurnal Al-Insan, Vol. I, no. 1, Januari 2005), hlm. 116-117.
[2] Ahmed Deedat, Ayyuhumâ?? Al-Qur’ân al-Karîm am al-Kitâb al-Muqaddâs, dalam serial “Maktabah Deedat” (35), terjemah: Muhammad Mukhtar, (Cairo: al-Mukhtâr al-Islâmiy, tanpa tahun), hlm. 30. Buku ini merupakan buku hasil debat di Birmingham, Inggris, pada tanggl 7 Agustus 1988 antara Ahmed Deeda dan Anis Shorros. Judul asli buku ini adalah: “The Qur’an Or The Bible? Which is God’s Word?” “Kitab Suci” dalam bahasa Inggris telah diterjemahkan menjadi BIBLE yang diambil dari kata BIBLOS atau BUBLOS dalam bahasa Yunani yang berarti “kulit pohon bagian dalam” (al-lihâ’ al-dâkhiliy) penutup daging buah pohon Papyrus (al-Bardiy), yang darinya dibuat kertas pada zaman dahulu. Dari bahasa Yunani, kemudian berpindah ke dalam bahasa Latin yang berati “Kitab”. Dari kata “Kitab” ini lah kemudian digunakan dalam bahasa Inggris modern. Kata “Kitab” ini dinisbatkan oleh orang-orang Yunani awal kepada Perjanjian Lama secara umum. Kemudian umat Kristen awal mengadopsinya sampai tersebarnya istilah Perjanjian Lama dan Baru yang dimulai sejak abad ke-2 Masehi. Lihat, ‘Ishâm Râsyid al-Shadafî, al-Bisyârah li Muhammad fî al-Tawrâh: al-Nashsh al-Ladziy Ikhtafâ Alfay ‘Âmin, dalam serial al-Muhâwalât (1), (Cairo: Mathâbi‘ Sijill al-‘Arab, cet. II, tanpa tahun), hlm. 13. Dr. Khalil Ahmad Khalil, dalam Mu‘jam al-Mushthalahât al-Dîniyyah, menyebutkan bahwa Bible berasal dari bahasa Yunani: ta biblia = kitab-kitab. Lihat, Dr. Khalil Ahmad Khalil, Mu‘jam al-Mushthalahât al-Dîniyyah (Arab – Perancis – Inggris), (Beirut-Lebanon: Dâr al-Fikr al-Lubnâniy, cet. I, 1995), hlm. 129.
[3] Torah (Loi juive) adalah kitab syari‘at Musa-Yahudi (al-Syarî‘ah al-Mûsawiyah al-Yahûdiyah) yang dinukil ke dalam bahasa Yunani (Bible), tanpa ada pembedaan yang mendalam antara Taurat dan syari‘at (Nâmûs: NOMOS). Terjemah ini tersebar luas, dimana “syari‘at Yahudi” (al-Syarî‘ah al-Yahûdiyyah) identik dengan “Taurat”. Sejatinya, masalahnya lebih dalam dari itu. Karena Taurat, menurut derivasinya, menunjuk pada “ajaran Tuhan”. Ini menurut persepsi Yahudi, ikatan perjanjian antara Allah dan bangsa-Nya (Lihat: Kitab Keluaran 24: 7). Menurut pandangan ini, Taurat merupakan penyatuan “rahmat” atau “kelembutan/kasih-sayang Tuhan” dalam tataran pertama. Tetapi, Taurat mengandung wasiat-wasiat Tuhan yang mengekspresikan kehendak Sang Pencipta, dan mewajibkan kepada orang beriman untuk menaatinya dan mengamalkannya. Dalam pengertian ini, Taurat adalah syari‘at juga dan seruan kepad ketaatan. Ibid., hlm. 54-55.
[4] Dr. Muhammad ‘Abdullah al-Syarqâwî, Buhûts fî Muqâranat al-Adyân, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 2000), hlm. 119-120.
* Dia adalah pengganti Musa ‘alayhissalam dan anaknya. Dialah yang memimpin pasukan Israel – setelah Musa – ketika menyerbu negeri Kan‘an dan memasukinya.
* Tiba satu masa yang tak pernah terpikirkan oleh bangsa Israel, dimana mereka tidak memiliki seorang raja atau penguasa. Maka, urusan mereka diserahkan kepada Hakim-Hakim (ahli hikmah) mereka, sampai akhirnya ditentukan (dipilih) nabi Samuel sebagai raja: yaitu Jalut atau Saul. Kisahnya terdapat dalam Al-Qur’an, surah al-Baqarah: 246-248, 249-251.
* Ruth adalah nenek Dawud dari bapaknya.
* Kedua kitab ini menerangkan tentang: pohon nasab (genologi) Bani Israel; sejarah Sulaiman; sejarah Israel dalam kurun waktu setelah Sulaiman ‘alayhissalam.
* Ezra merupakan sosok seorang Israel yang aneh: Taurat yang ada sekarang ini lebih banyak dinisbatkan kepadanya daripada kepada Musa, seperti yang disebutkan oleh seorang Yahudi yang memeluk Islam, yaitu Samuel ibn Yahya al-Maghribiy (w. 570 H) di dalam bukunya “Ifhâm al-Yahûd”. Ezra adalah orang yang kepadanya dinisbatkan pendirian Kuil (Rumah Tuhan) Suci setalah dihancurkan oleh Bekhtensar pada tahun 586 SM. Sebagian sekte Yahudi menyebutkan bahwa Ezra adalah anak Allah. “Dan orang-orang Yahudi mengatakan: “Uzair adalah anak Allah.” (Qs. Al-Tawbah [9]: 30). Samuel berpendapat bahwa Ezra bukan “Uzair” yang disebutkan oleh ayat tersebut. Biar bagaimanapun, terdapat pendapat yang rajah di antara ulama yang menyatakan bahwa Ezra Sang Penulis atau Ezra adalah seorang duta: sang juru tulis yang menuliskan kembali Taurat, setelah hilang tak berbekas. Begitu pula penulisan sebagian kitab-kitab Perjanjian Lama yang lainnya.
[5] Ibid., hlm. 122-123.
[6] Ibid., hlm. 124.
[7] Ibid., hlm. 124-125.
[8] Lihat, Tim Fakta, Senjata Menghadapi Pemurtadan Berkedok Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2002), hlm. 35; Dr. Muhammad ‘Abdullah al-Syarqâwî, op. cit., hlm. 126 dan Dr. ‘Alâ’ Abu Bakar, Mâ Yajibu ‘an Ya‘rifahu al-Muslim ‘an al-Kitâb al-Muqaddas, (Markaz al-Tanwîr al-Islâmiy, 2005), hlm. 50.
[9] Ulangan 31: 9-12.
[10] Ibid., 31: 24-29.
* A. Demsky, “Who Returned First: Ezra of Nehemiah”, Bible Review, vl. xii, no. 2, April 1966, hlm. 33.
* Kisah perzinaan David (Dawud) ini dapat disimak dalam 2 Samuel 11.
* G. A. Anderson, “Torah Before Sinai – The Do’s and Don’ts Before the Ten Commandements”, Bibel Review, vol. xii, no. 3, June 1996, hlm. 43.
* Lihat I Samule 6: 19.
* H.H. Rowley, The Old Testament and Modern Study, Oxford University Press, 1961, hlm. xxvii.
* Dictionary of the Bible, hlm. 954. Lihat, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Al-A‘zamî, The History of The Qur’ânic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament (Sejarah Teks Al-Qur’ân, dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), terjemah: Sohirin Solihin, Anis Malik Thaha, Ugi Suharto, dan Lili Yulyadi, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2005), hlm. 254-256.
[11] Dr. al-Syarqâwî, op. cit., hlm. 161.
[12] Ibid., hlm. 166.
[13] Ibid., hlm. 166-167. Dr. al-Syarqâwî mengutip pendapat Spinoza di atas dari bukunya yang berjudul Risâlat fî al-Lâhût wa al-Siyâsah yang diterjemahkan oleh Dr. Hassan Hanafi. Judul asli buku ini adalah Tractatus Theologico-Polititus. Di Indonesia buku ini telah terbit dengan judul “Kritik Bibel”, diterjemahkan oleh Salim Rusydi Cahyono.
* Lihat Kitab Bilangan 25: 3.
* Ibid., 31: 14.
* Lihat Kitab Ulangan 13: 1.
* Spinoza berpendapat bahwa Kitab Ulangan yang ada sekarang merupakan kitab satu-satunya yang kandungannya dapat dinisbatkan kepada Musa, karena dia mengandung syariat yang dijelaskan oleh Musa kepada Bani Israel. Kita menyatakan: kitab ini mengandung wasiat-wasiat moral, etika hokum yang tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat wahyu dan peninggalan kenabian, karena ia merupakan ladang pengajaran dan etika yang diseur oleh para nabi. Tidak ada masalah dengan pendapat Spinoza ini. Karena Al-Qur’an dan sunnah yang suci telah memerintahkan untuk mengamalkannya. Oleh karena itu, ia adalah benar – di dalam Kitab Ulangan – dalam sebagian besar kandungan dan isinya.
* Kitab Ulangan 2: 1/17.
* Kitab Ulangan 34: 1.
* Kitab Kejadian 14: 14.
* Kitab Hakim-hakim 18: 29.
* Kitab Keluaran 16: 35.
* Kitab Yosua 5: 12, “Pada hari itu juga manna tidak lagi jatuh dari langit. Sejak itu mereka makan hasil tanah Kanaan.”
* Kitab Kejadian 26: 31.
[14] Dr. al-Syarqâwî, op. cit., hlm. 175-178.
[15] Abdul Wahhâb Abdus Salâm Thawîlah, al-Kutub al-Muqaddasah fî Mîzân al-Tawtsîq: al-Qur’ân al-Karîm, al-Tawrâh, al-Anâjîl, dalam serial Buhûts Islâmiyyah Hâmmah (34), (Cairo: Dâr al-Salâm, cet. II, 2002), hlm. 94.
[16] Maurice Bucaille, al-Tawrâh wa al-Anâjîl wa al-Qur’ân al-Karîn bi Miqyâs al-‘Ilm al-Hadîts, terjemah: Aly al-Gawhary, (Cairo: Maktabah al-Qur’ân, tanpa tahun), hlm. 32-34. Terjemahan buku ini penulis kutip dari buku edisi Indonesia dalam bentuk zip yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ahmad Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
[17] Al-A‘zamî, op. cit., hlm. 270.
* Mungkin para penerjemah belum dapat menentukan halaman yang diisyaratkan oleh Prof. Al-A‘zamî dalam bukunya ini. Sehingga, mereka menundanya, tapi sampai proses cetak masih belum diisi. Penulis sendiri (ketika menulis makalah ini) telah menyampaikan hal tersebut kepada teman-teman di milist INSIST. Semoga untuk cetakan berikutnya halaman kosong (…) tersebut sudah bisa disempurnakan.
[18] Apa itu Septuagint? Septuagint (sometimes abbreviated LXX) is the name given to the Greek translation of the Jewish Scriptures. The Septuagint has its origin in Alexandria, Egypt and was translated between 300-200 BC. Widely used among Hellenistic Jews, this Greek translation was produced because many Jews spread throughout the empire were beginning to lose their Hebrew language. The process of translating the Hebrew to Greek also gave many non-Jews a glimpse into Judaism. According to an ancient document called the Letter of Aristeas, it is believed that 70 to 72 Jewish scholars were commissioned during the reign of Ptolemy Philadelphus to carry out the task of translation. The term “Septuagint” means seventy in Latin, and the text is so named to the credit of these 70 scholars. Pengaruh Septuagint dalam Kristianitas (Septuagint – Influence of Christianity: The Septuagint was also a source of the Old Testament for early Christians during the first few centuries AD. Many early Christians spoke and read Greek, thus they relied on the Septuagint translation for most of their understanding of the Old Testament. The New Testament writers also relied heavily on the Septuagint, as a majority of Old Testament quotes cited in the New Testament are quoted directly from the Septuagint (others are quoted from the Hebrew texts). Greek church fathers are also known to have quoted from the Septuagint. Even today, the Eastern Orthodox Church relies on the Septuagint for its Old Testament teachings. Some modern Bible translations also use the Septuagint along side Hebrew manuscripts as their source text. Apa isi Septuagint? (Septuagint, What does it contain)? The Septuagint contains the standard 39 books of the Old Testament canon, as well as certain apocryphal books. The term “Apocrypha” was coined by the fifth-century biblical scholar, Jerome, and generally refers to the set of ancient Jewish writings written during the period between the last book in the Jewish scriptures, Malachi, and the arrival of Jesus Christ. The apocryphal books include Judith, Tobit, Baruch, Sirach (or Ecclesiasticus), the Wisdom of Solomon, First and Second Maccabees, the two Books of Esdras, additions to the Book of Esther, additions to the Book of Daniel, and the Prayer of Manasseh. The Apocryphal books were included in the Septuagint for historical and religious purposes, but are not recognized by Protestant Christians or Orthodox Jews as canonical (inspired by God). Most reformed teachers will point out that the New Testament writers never quoted from the Apocryphal books, and that the Apocrypha was never considered part of the canonical Jewish scripture. However, the Roman Catholic Church and the Orthodox churches include the Apocrypha in their Bible (except for the books of Esdras and the Prayer of Manasseh). Lihat, http://www.septuagint.net.
[19] Al-A’zamî, op. cit., hlm. 271-272.
[20] Kata “Talmud” berarti “ajaran” atau “syari‘at (hukum) yang diajarkan secara oral” (al-syarî‘ah al-syafawiyah). Para “Amoraim” (komentator) menisbatkan lafadz “Talmud” hanya kepada “Mishna”. Namun sekarang, Talmud itu sama dengan “Mishan” dan “Gemara”. Mishna adalah “matan” dalam Talmud Babilonia, yang juga merupakan Mishna dalam Talmud Palestina. Kedua Talmud ini tidak memiliki perbedaan, kecuali dalam Gemara atau penjelasan saja, yang di dalam Talmud Babilonia jumlahnya empat kali lipat dari Talmud Palestina. Lihat, Ibrahim Khalil Ahmad, Isrâ’îl wa al-Talmûd: Dirâsah Tahlîliyyah, (Mesir: Maktabah al-Wa‘yi al-‘Arabiy, tanpa tahun), hlm. 33. Talmud Babilonia mencakup 2947 lembar dalam ukuran besar. Mishna terbagi kepada enam Sedarim (enam bab) , dan setiap Sedarim terbagi kepada beberapa Masechtoth (tulisan-tulisan) yang mencapai 63 Masechtoth. Setiap Masechtoth terbagi kepada beberapa Perakim (pasal-pasal), dan setiap Parekim terbagi kepada beberapa Mishnayoth (ajaran-ajaran). Talmud-Talmud cetakan modern, biasanya memuat penjelasan Rashi (1040-1105). Penjelasan-penjelasan Rashi ini muncul sebagai “catatan kaki” bagian dalam untuk lembaran-lembaran matan. Dan Tosaphots (tambahan-tambahan) merupakan bentuk diskusi yang ada di dalam Talmud miliki para rabbi orang-orang Farisi dan Jerman: yang berasal dari abad ke-12 dan ke-13, dan ini tampak pada catatan kaki bagian luar untuk lembaran-lembaran matan. Cetakan-cetakan baru, menambahkan berbagai Tosefta (berbagai penyempurnaan), yang merupakan sisa-sia dari “syari‘at oral” yang tidak termaktub dalam Mishna Jehuda Hanasi juga tambahan-tambahan dari Midrash (Penafsiran): khutbah-khutbah yang disampaikan oleh Tannaim atau Amoraim, tapi itu semua dikumpulkan dan dikodifikasikan hnaya dalam masa yang terbatas antara abad ke-4 dan ke-12 yang dijelaskan dalam bahasa rakyat yang mempermudah buku-buku suci Ibrani. Ibid. (foot-note).
[21] Al-A‘zamî, op. cit., hlm. 273-274.
[22] Ibid. Untuk penjelasan tentang dokumen gua Qumran, silahkan dilihat dalam buku Prof. al-A‘zamî, hlm. 281-286.
[23] Ahmed Deedat, The Choice: Dialog Islam-Kristen, terjemah: Dr. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. IX, 2003), hlm. 291-292.
[24] Robert A. Morey, op. cit., hlm. 136-137 (dalam “Catatan Pinggir” Sadu Suud).
[25] Ahmed Deedat, op. cit., hlm. 293-294.
[26] Ibid.
* Bible versi baru tanpa malu-malu mengurangi jumlahnya menjadi hanya “70” saja!
[27] Ibid., hlm. 295.
[28] Ibid., hlm. 316.
* Penulis menuliskan kitab “suci”. Dalam buku The Choice penerjemah menulisnya dengan Injil yang “suci”, karena ayatnya adalah ayat PL, maka penulis mengganti redaksinya menjadi kitab “suci”.
* Dalam kasus ini, Deedat sedang mengajarkan kepada pembacanya dalam menggunakan Combat Kit (Trik mengalahkan para Evangelist alias Penginjil atau lawan debat).
[29] Ibid., hlm. 289-281.
[30] Robert A. Morey, op. cit., hlm. 146 (dalam “Catatan Pinggir” Sadu Suud).
0 Comments:
Post a Comment
<<Kembali ke posting terbaru