“Memahami Iman Ibrahim
Memahami Iman Ibrahim:
Sanggahan atas Brosur Gelap “Siapa Membelenggu TUHAN?”
Hari Sabtu (17 Mei 2008), Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan mendapat kiriman ‘surat kaleng’. Surat kaleng tersebut dikemas dalam satu amplop berukuran sedang, dalam map berwarna kuning. Isinya satu booklet dan tiga brosur.[1] Yang menerima surat tersebut adalah Wakil Direktur Pesantren, Ust. Drs. J U N A I D I. Baru membaca mukadimah brosur tersebut, Wakil Direktur menyimpulkan bahwa ini adalah gawe orang Kristen. Kemudian, Ust. Junaidi –lewat ustadz Aman Lingga, S.Pd. I—memanggil saya. Ust. Junaidi kemudian menyerahkan amplop tersebut.
Setelah membaca tiga brosur, penulis merasa ‘bertanggungjawab’ untuk memberikan bantahan terhadap booklet dan tiga brosur tersebut. Karena isinya sangat melecehkan ayat-ayat Al-Qur’an melakukan manipulasi hadits Rasulillah s.a.w. Penulisnya sengaja mengutip ayat-ayat Kitabullah dan hadits Rasulillah untuk dijadikan hujjah dan dalil dalam mendukung dogma Kristen yang jelas-jelas salah, khususnya tentang ayat surah Ali ‘Imran tentang “mukjizat” nabi ‘Isa a.s. Penulis yakin bahwa booklet dan brosur tersebut sudah disebarkan ke mana-mana: untuk melakukan propaganda dogma Kristen dan mencoba untuk menyesatkan umat Islam. Walaupun di dalam booklet dan brosurnya, sang penulis mengaku tidak melakukan kristenisasi.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memberikan bantahan secara kritis dan objektif. Agar umat Islam tahu bahwa apa yang ditampilkan oleh sang penulis tidaklah benar. Dan tujuannya hanya melakukan “pendangkalan akidah Islam” dan menyesatkan.
SEBUAH CATATAN AWAL
Dalam kata pengantarnya, sang penulis menulis:
“Secara rohani, penulis adalah murid Isa/Yesus, bukan dalam bentuk agama Kristen, melainkan menganut ajaran Injil yang murni, sebelum agama Kristen dikenal. {Istilah Kristen mulai dikenal bertahun-tahun setelah Yesus kembali ke sorga, tercatat [ada Kisah Para Rasul 11: 26}. Penulis menata kehidupan sesuai Injil yang diajarkan oleh Yesus {Quraan menyatakan bahwa Isa/Yesus adalah pembawa Injil}, yang berbeda dari norma/syariat agama Kristen. Penulis bukanlah pengikut sesuatu sekte kristiani, yang baru terbentuk ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun setelah Yesus kembali ke sorga; Penulis adalah murid Yesus dalam arti yang murni. Dengan secara berhati-hati, selama empat puluh tahun, Penulis menelaah Kitab Perjanjian Lama (yang merekam pengajaran Agama Yahudi), Kitab Perjanjian Baru (pegangan umat beragama Kristen), Quraan (Kitab Suci kaum Muslimin), bahkwan Weda (dari umat Hindu). Dari studi empat puluh tahun itu, oleh bimbingan sorgawi, Penulis menemukan, lalu menyembah dan menaati TUHAN yang tidak terbelenggu. Penulis tidak memuliakan salib, gereja, patung kayu ataupun batu.”
Dari pernyataan di atas, kita dapat melihat pernyataan yang sangat rancu dan tak dapat dipertannggungjawabkan. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, apakah masih ada Injil yang murni saat ini? Seluruh umat Kristen sepakat, bahwa bahasa asli Injil adalah bahasa “Yunani”. Darimana sang penulis menyatakan bahwa Injil yang menjadi pedomannya adalah Injil yang asli, sebelum masa kekristenan. Jika ditanya lebih lanjut: bagaimana bentuk Injil Yesus yang asli itu? Umat Kristen hanya bangga dengan Injil mereka yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Padahal, sebagus apapun terjemahan Injil, tidak akan pernah bisa mewakili bahasa aslinya. Bahasa komunikasi Yesus adalah “Arami” (Aramaic). Dan tidak ada Injil yang asli, yang mempertahankan bahasa awalnya.
Kedua, penulis mengaku dirinya sebagai murid Yesus. Ini hanyalah angan-angan belaka. Ia hanya ingin mengelabui pembacanya, tentunya umat Islam. Dia lupa, bahasa dalam Bible murid Yesus hanya 12 orang, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sebagai al-Hawariyyun. Jika yang dia maksud dengan ‘murid Yesus’ adalah karena mengikuti Injil yang asli, itupun tidak masuk akal. Karena Injil tersebut sudah tidak ada lagi, raib entah kemana.
Ketiga, pengakuan penulis yang tidak mengikuti satu sekte kristen pun adalah penipuan belaka. Ini dapat kita buktikan dari tulisannya dalam booklet-nya nanti. Betapa rancu argumentasinya: sangat kontradiktif dengan apa yang diklaimnya. Sebelum penulis ini, seorang pendeta juga mengklaim dirinya menganut “Islam Hanif”. Padahal secara historis, tidak ada istilah yang menyebut “Islam Hanif” itu. Islam adalah Islam, tidak ada Islam Hanif itu. Yang ada adalah ajaran al-Hanifiyyah al-Ibrahimiyyah: ajaran lurus Tawhid nabi Ibrahim a.s. Seperti yang dianut oleh Siti Khadijah r.a. istri Rasul s.a.w. yang pertama.
Keempat, pengakuannya yang menyatakan bahwa telah mempelajari Taurat, Injil, Al-Qur’an dan Weda selama 40 tahun adalah bulshit: omong kosong dan angan-angan yang tak dapat dibuktikan. Kita lihat nanti dalam tulisannya, dimana dia banyak memanipulasi ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulan ‘wisata batinnya’ atas berbagai kitab suci tersebut sangat ‘menyedihkan’. Akhirnya dia tidak memuliakan salib, tidak memuliakan gereja, tidak menyembah patung kayu (mungkin patung Yesus Kristus_pen) dan batu. Jika selama 40 tahun mempelajari Al-Qur’an, mustahil sang penulis tidak menemukan ramalan Yesus Kristus di dalam Qs. Al-Shaff: 6, yang menyatakan bahwa akan datang seorang nabi setelahnya yang bernama “Ahmad” alias Muhammad. Artinya, sang penulis harus memeluk agama Islam alias menjadi Muslim. Sebelum penulis booklet ini, Frans Donald pernah mengklaim dirinya sebagai “Kristen Tauhid”.[2] Jika Frans mengklaim dirinya sebagai “Kristen Tauhid”, maka itu keliru. Karena saat ini tidak ada agama Kristen yang “Tauhid”. Semua sekte Kristen saat itu adalah Kristen Trinitas: menyembah tiga tuhan. Jika klaimnya tetap pada “Kristen Tauhid” berarti dia Muslim. Sayangnya Frans tidak mau menyatakan dirinya sebagai “Muslim”.
Kelima, dalam booklet-nya sang penulis menulis satu bab tentang peristilahan. Ketika mendefenisikan kata “Allah” dia menyebutkan: “Allah, adalah nama-pribadi, disembah oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya. Nama Allah sudah diseru-seru sebelum kelahiran Nabi Muhammad.”[3] Kemudian dalam foot-note, penulis mencatat: “CONTOH: Dalam Terjemahan Quraan yang disahkan oleh Departemen Agama R.I (1999) dalam surah an-Najm [53]: 19-20: Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Jelaslah bahwa leluhur Muhammad, yakni kaum Quraisy Jahiliyah sudah menyembah Allah, berhala yang memiliki anak-anak perempuan.”[4]
Jika dikatakan leluhur Nabi Muhmmad s.a.w. menyembah berhala, ini tidak benar. Karena faktanya tidaklah demikian. Abdullah dan Siti Aminah (kedua orangtua Nabi s.a.w.) tidak pernah dikabarkan menyembah berhala. Benar bahawa kata “Allah” sudah digunakan oleh para kafir-musyrik Quraisy, sebelum kedatangan Islam. Namun ketika Islam muncul, istilah Allah sudah berubah konsepnya. Ia bukan Allah yang memiliki anak-anak perempuan: Al-Latta, al-‘Uzza dan Manah.
I
SIAPA MEMBELENGGU TUHAN?: “MELECEHKAN TUHAN DAN AGAMA”
- BELENGGU KEBANGSAAN DAN BAHASA
(TUHAN adalah milik bangsaku, TUHAN berbicara dalam bahasaku!”
Itulah yang ingin disampaikan oleh sang penulis. Artinya, bahasa dan bangsa tidak membelenggu Tuhan. Menurutnya, Ibrahimlah/Abraham menjadi manusia pertama yang menyembah Tuhan Yang Benar. Pendapatnya ini dikuatkan olehnya dengan mengutip firman Allah dalam Qs. Al-Zukhruf [43]: 27-28.[5]
Secara halus, sang penulis menyindir umat Islam. Dia menulis:
“Contoh: Bangsa Yahudi menganggap diri mereka adalah bangsa pilihan TUHAN, dan tidak ada bangsa lain seperti mereka. Mereka menetapkan bahwa umat yang ingin beroleh keselamatan dunia-akhirat harus menjadi orang Yahudi lebih dulu. Harus belajar bahasa Ibrani. Lebih jauh lagi penyimpangan mereka: bahasa Ibrani mereka anggap sebagai bahasa sorga. Contoh lebih mirip adalah orang-orang Arab, yang menuntut semua pengikut agama Arab harus mengucapkan pengakuan-iman dan bahasa Arab! Doa-doa harus dipanjatkan di dalam bahasa Arab, baru sah. Kitab Suci merekapun dipertahankan dalam bahasa Arab. Bahkan umat dianjurkan melakukan peziarahan ke Tanah Arab.”[6]
Penulis menyamkana Islam dengan “Arab”. Artinya, umat Islam memaksakan bahasa Arab kepada pemeluk agama lain, agar mengadopsinya seratus persen. Tentu saja bahasa Al-Qur’an “wajib” berbahasa Arab. Menurut Allah s.w.t. Al-Qur’an memang harus dalam bahasa Arab, agar mudah dipahami. Bukan untuk membelenggu dan membentengi TUHAN dalam satu bahasa. “Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kalian mengetahui (memahami dengan mudah).” (Qs. Yusuf [ ]: ). Ziarah ke Tanah Arab, maksudnya adalah menunaikan Ibadah Haji ke Mekah al-Mukarramah. Ini adalah perintah Allah kepada nabi Ibrahim a.s., sebagai “Bapak Tauhid”. (Qs. Al-Hâj []: ). Jika penulis memahami ajaran Ibrahim a.s. dia tidak akan berani menyalahkan orang-orang Muslim yang berangkat setiap tahun ke Tanah Suci Mekah yang mulia. Penulis lupa –atau pura-pura lupa—bahwa Ibrahim/Abraham dan anaknya Isma’il yang melakukan renovasi rumah Allah, Mekah, di Arab Saudi. Bagaimana mungkin fakta sejarah ini luput dari seseorang yang sudah mempelajari Al-Qur’an selama 40 tahun.
Setelah itu, penulis membela Kristen. Dia menulis:
“Perhatikan pula bahasa Yesus-Anak-Manusia, yang tidak berbangsa Yahudi atau Arab (sebab Yesus ber-Bapak-kan TUHAN, Pemilik Sorga), juga tidak mengharuskan pengikut-Nya untuk berbahasa tertentu. Sebab semua bahasa sah di hadapan TUHAN. Yesus membebaskan para pengikut-Nya untuk menggunakan bahasa masing-masing di dalam menyeru TUHAN. Sebab TUHAN mengerti segala bahasa.”[7]
Inilah satu satu bentuk kontradiksi pendapat yang dimiliki sang penulis. Katanya di awal dia mengatakan menganut ajaran Injil Yesus yang asli, sebelum zaman Kekristenan. Nyatanya, dia mengakui bahwa Yesus adalah “Anak Tuhan (Son of God). Inilah ajaran Trinitas, bin Tri Tunggal alias Three in One. Padahal selama hidupnya, Yesus tidak pernah menyatakan bahwa dirinya “Anak Tuhan”.
Benar bahwa TUHAN tidak mengkhususkan satu bahasa. Tapi untuk Kitab Suci, Allah pasti memilih satu bahasa khusus untuk kitab-Nya. Kenapa? Agar dia dapat dipahami oleh umat-Nya. Yesus tidak menyuruh orang Kristen menggunakan satu bahasa khusus? Benar, dalam hal rutinitas tertentu, bukan untuk Kitab Suci. Kitab Suci wajib menggunakan satu bahasa, kecuali terjemahan. Terjemah Kitab Suci boleh tidak menggunakan bahasa aslinya.
Sepertinya sang penulis kecewa berat, karena Injil kehilangan bahasa aslinya. Bahasa Ibrani (Hebrew) tidak mampu diselamatkan.[8] Konon lagi mereka mau menyelamatkan Bible. Sungguh hal yang menyedihkan. Dia ingin mengelabui umat Islam, agar tidak usah belajar bahasa Arab. Apa jadinya, jika umat Islam tidak ada yang belajar Al-Qur’an, Tauhid, hadits dll. Padahal sumbernya adalah bahasa Arab. Karena dia frustasi, maka dia mengusulkan agar TUHAN tidak dibelenggu oleh “satu bahasa resmi”.
- BELENGGU KITAB SUCI
Dalam hal ini, sang penulis menolak klaim suatu agama bahwa Kitab Sucinya yang paling “benar”. Dengan nada intimidatif, sang penulis mencatat:
“Masing-masing pemimpin agama ini cenderung menganggap Kitab Suci yang dipegangnya yang paling benar; bahkan ada kecenderungan untuk menuding bahwa Kitab Suci yang lain sudah tidak asli, atau sudah rusak, atau bahkan sudah hilang yang aslinya. Inipun suatu belenggu tersamar: “TUHAN tidak mampu memelihara kebenaran yang sudah diwahyukanNya!” Penulis tidak menyembah TUHANyang demikian lemah![9]
Benar! Setiap agama memang mengakui Kitab Sucinya lah yang paling benar. Mungkin karena penulis mencoba untuk mengikuti Injil yang asli, yang sudah tak diketahui identitasnya dengan jelas, jadi dia mengusulkan agar tidak ada klaim kebenaran (truth claim) terhadap masing-masing Kitab Suci kaum beragama. Contoh: umat Yahudi mengakui bahwa di dalam Perjanjian Lama diakui ada 5 kitab pertama disanggap sebagai Taurat Musa, karena menurut mereka Musa lah yang menulisnya.[10] Tapi ternyata Kitab ini tidak biasa dianggap Firman Allah 100 %, karena banyak yang errors dan tidak benar jika dinisbatkan kepada Allah s.w.t. Contoh: dalam Kitab Ulangan 34: 5-6 disebutkan:
“Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan Firman TUHAN. Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-
Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.”
Orang yang kritis membaca dua Kitab Ulangan di atas, akan menyimpulkan bahwa tidak mungkin Musa yang menulisnya. Apakah dapat diterima oleh akal seseorang sudah tahu tanggal kematiannya, dan juga sudah tahu dimana dia akan dikuburkannya. Ini mengindikasikan bahwa ada “orang ketiga” yang menuliskan ayat Kitab Ulangan di atas. Maka tidak heran, jika Barukh Spinoza (1632-1677), mengkritik kelima kitab Musa tersebut. Contoh kritik Spinoza, misalnya:
“Bible tidak hanya menceritakan Musa dengan kata ganti orang ketiga, tetapi lebih dari itu dia memberikan banyak kesaksian mengenai dirinya, seperti: “TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka.” (Keluaran 33: 11), “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang ada di atas muka bumi.” (Bilangan 12: 3), “Maka gusarlah Musa kepada para pemimpin tentatara itu.” (Bilangan 31: 14), “Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan Firman TUHAN.” (Ulangan 34: 5).[11]
Tentu saja kesaksian ‘orang ketiga’ di atas tidak dapat dikatakan sebagai sabda Musa a.s. Dengan demikian, batallah klaim yang menyatakan bahwa kitab Keluaran merupakan tulisan Musa a.s.
Sang penulis juga menyatakan:
“Maka kelirulah umat dan para pemimpin Agama yang berselisih paham mengenai Kitab Suci yang paling suci, dan paling sempurna, dan paling sah. Semuanya itu sia-sia, jika tidak berjumpa dengan Tokoh yang berwenang menuntun ke Sorga. Lebih jauh lagi, Tokoh itu haruslah Pemilik Sorga sendiri, Yang Maha Tinggi, atau (barangkali) ada Tokoh lain yang diberi wewenang untuk menuntun umat ke Sorga. Hal ini akan menjadi jelas nanti.”[12] Karena menurutnya Kitab hanyalah suatu benda, yang berisi petunjuk belaka; bukan menentukan masuk/tidaknya seseorang ke dalam Sorga.[13]
Oleh karenanya, ia mengusulkan agar TUHAN tidak dibelenggu. Dia menulis:
“Jangan pula TUHAN dibelenggu, seolah-olah TUHAN hanya berfirman di dalam Kitab2 dari Agama Samawi (Yahudi-Kristen-Islam). TUHAN berfirman juga di luar Kitab-kitab yang dianggap suci itu. Bahkan di dalam Kitab Weda (Veda), TUHAN sudah mencatatkan kebenaranNya, untuk mencairkan kesombongan yang merebak di tengah-tengah umat Tuhan.”[14]
Di sini, sang penulis tampil bebas, “tanpa agama”. Ia benar-benar multi-agama. Inilah faham “multi-kulturalisme”. Semua kitab suci menurutnya “sama”: sama-sama benar, karena sama-sama Firman Allah. Inilah logika ngawur. Setiap agama, pasti mengklaim bahwa Kitab Sucinya lah yang paling benar. Ini hal yang aksioma. Yang perlu dilakukan adalah “verifikasi”. Apakah benar kitab yang diklaimnya itu suci, benar atau tidak. Benarkah agamanya itu mengajak kepada kebenaran: Allah yang Mahabenar, keimana yang benar, dan ajaran yang benar. Itu yang penting. Bukan hanya klaim “kosong” bahkan “dusta” tanpa bukti nyata. Dalam hal ini, Al-Qur’an sangat terbuka dan fair. Al-Qur’an sendiri mengajak siapa saja yang tidak percaya akan kebenaran yang dikandungnya untuk “mentadabburinya”. Dengan jelas, Allah s.w.t. menawarkan untuk memberikan verifikasi terhadap Al-Qur’an ini:
“Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (Qs. Al-Nisa’ [4]: 82).
Dalam ayat yang lain, Allah s.w.t. menjelaskan: “Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an, atau hati mereka benar-benar terkunci?” (Qs. Muhammad [48]: 24).
Untuk mendukung argumentasinya, sang penulis mengambil contoh dari Sloka 9:11: Orang bodoh mengejek diriku bila AKU menurun dalam bentuk diri manusia, karena mereka tidak mengerti bentuk rohankiKU sebagai TUHAN YANG MAHA ESA yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada.
Sloka ini, menurutnya, memperkenalkan TUHAN YANG MAHA ESA, tanpa nama-pribadi. Yakni TUHAN yang rohani, tidak terbuat dari kayu ataupun batu; TUHAN yang berkuasa atas segala sesuatu
Sloka ini juga adalah nubuatan tentang menurunnya atau menitisnya TUHAN, tampil dalam bentuk manusia. Lalu orang-orang bodoh mengejek. Satu-satunya manusia yang menyandang ciri titisan TUHAN adalah Yesus-Anak-Manusia, yang diejek, bahkan disalibkan oleh orang-orang yang (beragama, namun) tidak mengerti tentang ROH TUHAN![15]
Ketika menjelaskan tentang ajaran “menitis” (titisan) ini, sang penulis menjelaskan dalam catatan kakinya: “Ada kebenaran tertentu di dalam pengajaran tentang ‘penitisan’ ini. Jika umat beragama mengakui bahwa TUHAN adalah Yang Maha Kuasa, tentu Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Pencipta mampu melakukan penitisan. Siapa yang berani melarang TUHAN?[16]
Jelas sekali, sang penulis mendukung dogman “penitisan” dalam agama Hindu. Dimana Tuhan menurut keyakinan mereka ber-inkarnasi dalam tubuh seorang manusia yang bernama “Krishna”. Penulis juga ingin mendukung ajaran Kristen, yang menyatakan bahwa Tuhan ber-inkarnasi dalam tubuh ‘anak tunggal-Nya’: Yesus Kristus. Lagi-lagi sang penulis ingin menampilkan superioritas Yesus Kristus. Inilah yang ditolak habis-habisan oleh agama Islam. Karena jika Allah menitis dalam diri seorang makhluk-Nya, maka tidak tidak menjadi Tuhan yang murni lagi. Dia sudah menyerupai makhluk, dan ini sangat mencederai kesucian Allah s.w.t. Na‘udzu billah min dzalik.
“Laysa kamitslihi syai’un wa huwas sami’ul bashir” (Allah adalah Tuhan yang tidak ada sesuatupun yang seperti-Nya. Dan dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat).[17] “(Allah) adalah Tuhan yang tiada seseorangpun yang setarara dengan-Nya.”[18]
Sang penulis kemudian mengutip Sloka kembali. Sloka 9: 2: Orang-orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara dewa-dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi kepada leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan lahir di tengah makhluk seperti itu dan orang yang menyembah AKU akan hidup bersama AKU di dalam KERAJAANKU.
Kemudian sang penulis menyatakan bahwa menyembah TUHAN, akan masuk ke dalam kerajaan TUHAN. Yesus adalah satu-satunya utusan Sorga yang memperkenalkan Injil Kerajaan Sorga [Matius 4: 17; Matius 24: 14, dll]. Inginkah Saudara memasuki Sorga? Sembahlah TUHAN yang tidak terbelenggu, bukan Tuhan-lokal![19]
Lihat, sang penulis kembali menampilkan superioritas Yesus Kristus sebagai “utusan kerajaan sorga”. Tapi dia poles sikap ‘munafik’nya lewat ajaran Sloka, agar tidak diketahui orang maksud jahatnya. Semua nabi-nabi Allah utusan dari Tuhan yang menjelaskan bagaimana kerajaan sorga. Karena setiap nabi pasti membicarakan tentang alam Akhirat: surga neraka. Dan itu tidak didominasi oleh Yesus Kristus.
Selanjutnya, sang penulis kembali mengutip Sloka. Sloka 18: 66: Tinggalkanlah segala jenis darma agamamu dan hanya menyerahkan diri kepadaKU; AKU akan menyelamatkan kamu dari segala reaksi dosa, jangan takut.
Lalu, kata sang penulis: “Segala macam darma, ibadah, kebaktian {bahasa Quraan: syariat}, bukan persiapan yang cukup untuk beroleh keselamatan dari akibat dosa. Yang benar: penyerahan diri kepada TUHAN {bahasa Quraan: Tauchid} dan pengampunan dari dosa, yang juga bersumber dari TUHAN.
Yesus-Anak-Manusia, seperti Ibrahim dan Sloka-sloka ini, tidak menetapkan pelbagai syariat (di kemudian hari, pemimpin agama Kristen menetapkannya). Yesus menjanjikan juga pengampunan (dari TUHAN) dan penyelamatan dari dampak dosa atau neraka.[20]
Kembali lagi, sang penulis menyatakan bahwa Yesus juga menjanjikan pengampunan dan penyelamatan. Karena menurutnya, Yesus adalah satu-satunya “Juruselamat”. Walaupun sudah kita buktikan bahwa Yesus memang Juruselamat, tapi khusus untuk Bani Isra’il, tidak lebih.
Sang penulis juga melakukan manipulasi ajaran Islam. Dia menggunakan bahasa Al-Qur’an untuk kebaktian sebagai “syariat”, yang menurutunya bukan persiapan yang cukup untuk beroleh keselamatan. Karena keselamatan menurutnya adalah dengan cara “penyerahan diri” kepada Tuhan. Lagi-lagi dia mengatakan bahwa dalam bahasa Al-Qur’an, penyerahan itu disebut dengan “Tauchid”. Padahal, dalam Al-Qur’an penyerahan yang tulus itu adalah menjadi seorang Muslim. Orang Muslimlah (pemeluk agama Islam) yang sangat diharapkan oleh Allah menghadap kepada-Nya. Orang yang kembali kepada-Nya tidak membawa agama Islam, alias kafir dan musyrik, tidak akan diterima. Oleh karena itu, Allah s.w.t. mensyaratkan kepada segenap orang beriman untuk bertakwa dan tidak mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (al-Muslimun):
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan sebagai Muslim.”[21]
Dalam Kristen pun demikian. Keataan kepada Yesus harus dibuktikan dengan cara melaksanakan ajarannya, bukan hanya penyerahan diri kepada Tuhan. Masalah hari Sabat (Sabtu) saja sampai hari ini masih terus menjadi kontroversi yang berkepanjangan. Kristen Katolik dan Protestan tetap menghadiri hari Minggu sebagai hari “peribadatan” mereka. Sementara Kristen Advent pergi ke gereja pada hari “Sabtu”: setiap kepada ajaran Allah yang termaktub dalam Ten Comandements[22] yang diterima oleh Musa a.s. Sebagaimana diketahui, bahwa Yesus tidak akan pernah menghapuskan hukum Taurat, satu noktah pun. Lalu bagaimana orang yang mengaku taat kepada Allah dan Yesus, tapi menyelewengkan ajaran-ajaran-Nya. Kemudian ibadah dan syariat itu tidak cukup untuk beroleh keselamatan, karena yang penting adalah “penyerahan diri kepada Tuhan”. Justru jalan yang diberikan untuk menyerahan diri setiap hamba-Nya adalah lewat syariatnya. Jika tidak, kenapa harus adalah shalat, puasa, dll dalam setiap agama (khususnya Yahudi-Kristen-Islam).
- BELENGGU AGAMAWI
Tujuan sang penulis adalah: “Belenggu itu nampak dari fakta bahwa sebagian umat beragama meng-claim: “Agama kamilah yang benar! Agama kamilah yang menyembah TUHAN, satu-satunya Tuhan (prinsip Monotheisme). Agama kamilah satu-satunya yang diridhai TUHAN.” Mereka cenderung menganggap bahwa Agama lain tidak mengenal TUHAN, Agama sesat![23]
Setiap agama yang ada, wajar saja jika menganggap agamanya paling benar. Itulah “fanatik”. Dan satu agama dapat berkembang dan bertahan dengan kokoh, karena di dalamnya ada “fanatisme” dari para penganutnya. Ini adalah penting. Hindu, Budha, Shintoisme, Konfusianisme, Taoisme, dll, juga menganggap ajaran mereka paling benar dan sahih. Ada yang salah disana? Tidak, sama sekali tidak! Tapi yang perlu adalah dibuktikan dahulu. Truth-claim dalam setiap agama itu alami, natural sekali.
Bagi seorang Muslim, agama Islamlah paling benar. Dan ini diakui sendiri oleh Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an. Dan ini sifatnya paten dan permanent. Tidak bisa diubah lagi:
“Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu, dan telah telah aku sempurnakan agamamu untukmu. Dan Aku telah ridha “Islam” itu menjad agama bagimu.”[24] Karena siapa saja yang mencari agama selain Islam ini, akan ditolak (tidak diterima). Bukan hanya itu, di Akhirat kelak dia akan merugi. “Barangsiapa yang mencari agama selain “Islam”, maka tidak akan pernah diterima dan di akhirat nanti dia termasuk orang-orang yang merugi.”[25] Dan tidak dapat dirubah, sehingga setiap Muslim mengakui bahwa agama di luar agama mereka juga “benar”. Ini tidak akan pernah terjadi dari seorang Muslim.
Menurut sang penulis: “Sikap umat membelenggu TUHAN di dalam Agama adalah kebathilan!
Seolah-olah TUHAN menganut Agama tertentu. Ini kekeliruan karena belum mengekui bahwa TUHAN tidak perlu agama. Berarti umat sedang memperlakukan TUHAN sebagai manusia, makhluk ciptaan. Berarti memerosotkan martabat TUHAN.”[26]
Pendapat sang penulis yang menyatakan bahwa bahwa sikap membelenggu TUHAN dalam agama adalah “kebatilan” merupakah “khayalan” kosong tak bermakna. Penulis berasumsi bahwa sang penulis terlalu memaksakan kehendak ‘nafsunya’ untuk menghancurkan ajaran seluruh agama yang ada, yang memahami konsep Tuhan lewat agamanya masing-masing. Benar bahwa Tuhan tidak butuh agama. Tapi Tuhan harus dikenal lewat agama. Dalam Islam, Allah s.w.t. diperkenalkan oleh Rasulullah lewat agama: “Islam”. Bahkan, agama pamungkas yang diridhainya adalah “Islam”, bukan Budha, Hindu, Yahudi, Kristen ataupun Shinto. Karena Islamlah agama yang sempurna. Tidak ada yang lebih sempurna dari agama Islam. Dan Islam adalah agama seluruh nabi Allah: sejak zaman Adam hingga Rasulillah s.a.w. Maka merugilah orang-orang yang menolak Islam, apalagi sampai tidak beragama. Prof. Dr. Joe Leigh Simpson[27], bertutur tentang Islam ini: ““Agama dapat menjadi petunjuk yang berhasil untuk pencarian ilmu pengetahuan. Dan agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama. Kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid. AI-Quran yang berasal dari Allah mendukung ilmu pengetahuan.”
Dan sampai hari ini, tidak ada seorang penganut agama manapun yang mengklaim bahwa Allah (Tuhan) menganut satu agama. Inilah khayalan berlebihan dari sang penulis. Hanya dialah yang berilusi serendah ini. Sejatinya, dialah yang mencoba memerosotkan martabat Tuhan, lewat khayalan-khayalannya yang irasional itu.
- BELENGGU KEYAKINAN (“Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan”)[28]
Klaimnya ini adalah repetisi (pengulangan) dari pendapat sebelumnya. Sang penulis di sini membela agama Budha, untuk meluluskan dogma Kristen tentang inkarnasi Tuhan dalam tubuh Kristus. Padahal kita tahu, bahwa setiap agama yang mengangkat seorang manusia ke derajat Tuhan adalah “agama khayalan”. Ingin memuliakan seseorang, tapi berlebihan dan menghina Tuhan.
Sang penulis mencatat dengan geram:
“Seringkali kalimat ini dimanfaatkan untuk menyangkali iman umat Buddhis, yang dianggap menyembah Budha. Buddha adalah anak seorang Raja, jadi tadinya adalah manusia biasa, lalu meningkat secara spiritual, dan dipandang sudah memasuki kekekalan tanpa meninggal dunia (mokca). Maka Buddha dianggap layak disembah/diikuti. Kwan Im Pousat, yang dipercaya sudah menjadi Dewi (setara Tuhan), juga disangkali oleh paham ini: Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan, menjadi Sesembahan.”[29]
Penulis sendiri bingung melihat gaya berpikirnya yang zig-zag seperti ini. Buddha, atau Sidharta Gautama, adalah seorang manusia: anak seorang Raja. Kemudian mengasingkan diri mencari ketenangan, sampai akhirnya mencapai derajat orang mulia. Lalu siapa yang mengangkatnya menjadi Tuhan?! Penulis booklet inipun terjebak dengan pikirannya sendiri, ketika menyatakan: “….lalu meningkat secara spiritual, dan dipandang sudah memasuki kekekalan tanpa meninggal dunia (mokca).” Pertanyaan adalah: siapa yang punya pandangan seperti itu? Buddha kah? Atau orang-orang Buddha? Kalau Buddha, dia tidak pernah mengklaim sudah mencapai derajat Tuhan. Jika penganutnya, itulah yang penulis maksud dengan “khayalan” alias “ilusi”. Agama yang penuh khayalan akan berakhir seperti itu. Ujung-ujungnya, sang penulis ingin mengatakan: jika Yesus adalah jelmaan dan titisan Tuhan, siapa yang mau melarang? Logika ngawur yang sama bisa saja kita tawarkan di sini: jika Allah tidak mau “menjelma” dan “menitis” dalam diri manusia, SIAPA YANG MAU MELARANG?
- BELENGGU DAYA PIKIR MANUSIA (“TUHAN itu Esa, sejak awalnya sampai selama-lamanya!”)[30]
Apa yang diinginkan oleh sang penulis? Setelah berbicara tentang konsep Tuhan menurut khayalannya, sang penulis menarik kesimpulan:
“Maka seringkali Iblis menunggangi pikiran manusia, lalu meng-injeksi-kan gagasan yang kelihatannya benar, namun sudah membelenggu pikiran manusia itu dan pada gilirannya membelenggu TUHAN yang dikenalnya, semakin terbatas. Memang Iblis sangat bernafsu mau membelenggu TUHAN, atau sekedar membelenggu pemahaman tentang TUHAN.
‘Bunyi’ salah satu belenggu itu: “TUHAN itu Esa, sejak awalNya sampai selama-lamanya. Tidak mngkin TUHAN tampil berdua!”
Gagasan ini terasa sebagai kebenaran, karena diturunkan dari paham kebadian TUHAN. Bahwa TUHAN itu kekal, tidak berubah selama-lamanya. Gagasan ini tidak salah. Namun, kekeliruan mulai muncul pada gagasan yang tersembunyi, yang merupakan dampak dari gagasan yang pertama. Belenggu yang tersembunyi berbunyi: “TUHAN tidak (tidak mampu atau tidak boleh) memecah DiriNya menjadi dua lebih.” (“Tidak boleh!” kata manusia yang sudah lebih dahulu terbelenggu pikirannya oleh Iblis).[31]
Sang penulis menginginkan bahwa Allah itu bisa saja menjadi dua atau lebih “Tuhan”. Karena dia membuat teori membelahnya “amoeba”. Kalla wa hasya lillah, ‘Maha suci Allah dari segala perumpamaan’. Inilah ilusi orang yang sudah frustasi untuk meluluskan ajaran sesatnya kepada manusia. Mari kita lihat argumentasinya:
“Padahal ada Wawasasan Biologis yang canggih. Berkaitan dengan kebenaran Injil: ‘Hikmat Amoeba’. Yang berikut ini adalah hikmat yang tidak disadari oleh guru-guru agamawi: Yahudi – Muslim – Kristen. Sadarkah Saudara bahwa bakteri, termasuk Amoeba, makhluk satu sel, mampu menghasilkan keturunan tanpa melakukan hubungan kelamin? Setiap sel Amoeba mampu memecah dirinya, menjadi dua. Yang pertama berperan sebagai bapak, yang muncul keluar dari bapak menjadi anak, kondisi si bapak tidak berpasangan dan tidak melakukan hubungan kelamin. AMOEBA memecah dirinya menghasilkan Amoeba! Begitulah caranya AMOEBA menghasilkan keturunan, sendirian, bukan dengan cara berpasangan lalu beranak. Maka jika,…jika TUHAN memecah diriNya, atas kehendakNya sendiri, siapa berani melarang? Yang nekat melarang TUHAN itu adalah Pemberontak, Iblis, Musyrik jadinya. Jika TUHAN benar-benar memecah diriNya, maka yang muncul, keluar dari TUHAN selaknyalah disebut Anak TUHAN. Seperti AMOEBA, tentu memper’anak’kan Amoeba. Dan Anak TUHAN bukanlah TUHAN, namun boleh bertitel Tuhan (perhatikan 4 huruf kecil). Maka sewajarnyalah Anak TUHAN (yakni Yesus) memanggil TUHAN dengan sebutan ‘Bapa’.[32]
Khayalan yang luar biasa sesatnya ini benar-benar keluar dari orang yang sedang kehilangan kesadaran murni. Jika pada pembahasan yang lalu, sang penulis mendukung konsep “inkarnasi” (menitis) dalam agama Hindu, sekarnag dia mendukung ‘akidah bakteri Amoeba’. Menyerupakan Allah dengan “Amoeba” adalah mencederai kesucian zat-Nya. Di dalam Islam, konsep ini dikenal dengan istilah tajsim (Allah punya jasad) atau tasybih (Allah diserupakan dengan makhluk). Inilah yang ditolak oleh seluruh ulama Muslim. Karena sangat bertentangan dengan ajaran akidah yang murni. Tapi menurut sang penulis, konsep nyeleneh-nya itu didukung oleh tiga “Kitab Suci” (Taurat, Injil dan Al-Qur’an”.
Dari Perjanjian Lama, dia mengutip Kitab Yesaya 61: 1: “Roh TUHAN ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku;…”. Dari Injil dia mengutip Lukas 4: 18: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,…”. Dan dari Al-Qur’an dia mengutip Qs. Muhammad [21]: 91: “Dan Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam tubuhnya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda yang besar bagi semesta alam. Ide konyol ini dia kuatkan lagi dengan Yohanes 8: 42: “Jikalau TUHAN adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari TUHAN. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.”[33]
Sang penulis benar-benar “pragmatis”. Padahal ayat-ayat Bible di atas tidak dapat difahami secara letterlijk (harfiah). Roh Tuhan dalam diri nabi Yesaya dan Yesus Kristus tidak dimaknai bahwa mereka itu “Anak Tuhan”. Mereka adalah yang diangkat (diurapi) sebagai utusan Allah, Rasul: untuk menyampaikan risalah (pesan) Allah kepada manusia. Dan tiupan roh ke dalam keduanya tidak bisa disamakan dengan “membelahnya Amoeba”. Betapa rendahnya derajat Allah jika disamakan dengan Amoeba: makhluk ciptaan-Nya sendiri. Sang penulis benar-benar “licik”. Jika mau bersikap adil, nabi Adam a.s. harus lebih dijadikan sebagai “Anak Tuhan” dibandingkan Yesus Kristus atau nabi-nabi yang lain. Ke dalam jasad nabi Adam a.s. Allah juga meniupkan ruh-Nya. Tidak ada yang “istimewa” dari kelahiran Yesus Kristus. Bagi Allah apa saja bersifat mungkin –kecuali hal-hal yang negatif.
Oleh kedua orangtuanya, Yesus sendiri dianggap sebagai “anak mereka”, bukan “anak Tuhan” atau anak ajaib. Lihat apa yang dikatakan oleh Yusuf dan Maria: “Dan ketika orangtuanya melihat dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibunya kepadanya: “Nak, mengapa kamu berbuat demikian terhadap kami? Bapamu dan aku cemas mencari Engkau.”[34] Jadi, sangat mustahil Tuhan memiliki orangtua. Inilah doktrin yang tidak benar. Dan tentu tidak beradab jika dinisbatkan kepada Allah: Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Kuasa.
Jika sang penulis mau jujur, ayat Injil Lukas 4: 18 yang dia kutip bukanlah perkataan Yesus. Ayat tersebut adalah tulisan yang dibacakan oleh Yesus dalam Kitab Yesaya 61: 1, yang juga dikutip oleh sang penulis. Mari kita perhatikan dan kita bandingkan kedua versi Yesaya 61: 1 dan Lukas 4: 18 di atas.
Lukas 4: 18: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku.”
Yesaya 61: 1: “Roh Tuhan Allah ada padaKu, oleh karena Tuhan telah mengurapi Aku; ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara…”
Kata-kata “pada-Ku” dan “Aku” dalam Injil Lukas 4: 18 pakai huruf kapital, adalah kata ganti untuk pribadi Yesus. Sementara kata-kata “padaku” dan “aku” dalam Kitab Yesaya 61: 1, memakai huruf kecil, adalah bukan ditujukan kepada Yesus, karena saat itu Yesus belum lahir. Seandainya Injil Lukas 4: 18 tersebut ditujukan kepada Yesus, maka kesimpulannya sebagai berikut:
- Setiap yang diberi roh oleh Tuhan, pasti bukan Tuhan.
- Yesus diberi roh oleh Tuhan, berarti Yesus bukan Tuhan.
- Setiap yang diurapi oleh Tuhan, pasti bukan Tuhan.
- Yesus diurapi oleh Tuhan, berarti Yesus bukan Tuhan.
- Setiap yang diutus oleh Tuhan, pasti bukan Tuhan.
- Yesus diutus oleh Tuhan, berarti Yesus bukan Tuhan.[35]
Yesus benar-benar bukan Tuhan, meskipun proses penciptaannya adalah “mukjizat” yang wajib diterima. Karena Yesus di dalam Injil, hanya mengaku sebagi “nabi”, tidak lebih. “Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, diantara kaum keluarganya dan di rumahnya.” (Markus 6: 4). Yohanes juga menganggap Yesus sebagai “Guru”, bukan Tuhan.[36] Yesus pun mengaku “tidak baikh”, hanya Allah saja yang baik.[37]
Injil Melecehkan Yesus!
Bukan hanya itu, Injil sama sekali tidak memberi penghormatan kepada Yesus Kristus. Karena di dalamnya disebutkan bahwa Yesus berbuat dosa. Jika Yesus dalam agama Kristen dianggap sebagai ‘Anak Tuhan’, bahkan Tuhan itu sendiri, maka yang dikatakan Injil di bawah ini sangat menghina kedudukannya sebagai “Tuhan”.
[1] Markus 3: 31-31: “Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepadanya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau.” Apakah “Tuhan” punya ibu dan saudara-saudara? Mahasuci Allah! Allah tidak beranak, dan tidak diperanakkan (Qs. Al-Ikhlâsh [112]: 3).
[2] Markus 9: 1: “Kata-Nya lagi kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat bahwa Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa.” Sekarang sudah tahun 2008. Sudah berapa lamakah Yesus meramalkan Kerajaan Allah itu? Sudah ribuan tahun lamanya. Berapa banyak generasi yang sudah silih berganti dan menggilir ‘gelas maut’. Tapi ramalan itu sama sekali tidak terjadi. Apa mungkin ‘Anak Tuhan’ salah menerima informasi dari Bapanya tentang Kerajaan-Nya itu. Ini namanya pelecehan terhadap ‘Anak Tuhan’ dan Tuhan itu sendiri.
[3] Markus 13: 31: “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja.” Apakah ‘Anak Tuhan’ atau Tuhan tidak tahu kapan kiamat terjadi. Atau Bapa Yesus tidak memberi informasi yang valid tentang itu? Subhanallah! Mahasuci Allah dari segala “kebodohan”.
[4] Markus 15: 28: “Demikian, genaplah nas Alkitab yang berbunyi: “Ia akan terhitung di antara orang-orang durhaka.” Sungguh memalukan Injil ini. Tidak masuk akal jika ‘Anak Tuhan’ yang penuh dengan Roh Kudus tergolong kepada orang-orang yang “durhaka”. Benar-benar melecehkan Rasul Allah, ‘Isa a.s.
[5] Matius 12: 46-50: “Ketika Yesus masih berbicara kepada orang banyak itu, ibunya dan saudara-saudara-Nya berada di luar dan berusaha menemui dia. Maka orang berkata kepadanya: “Lihatlah, ibumu dan saudara-saudaramu berada di luar dan berusaha menemui engkau. Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepadanya: “Siapakah ibuku? Dan siapa saudara-saudaraku? Lalu katanya, sambil menunjuk ke arah murid-muridnya: “Ini ibuku dan saudara-saudaraku! Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapakku di sorga dialah saudaraku laki-laki, dialah saudaraku perempuan, dialah ibuku.”
Yesus di sini benar-benar durhaka kepada ibunya. Apa mungkin ini terjadi kepada seorang yang diklaim sebagai ‘Roh Allah’ atau ‘Anak Tuhan’? Ini namanya “tidak bermoral”. Bahkan, ini bertentangan dengan nasehatnya sendiri. “Katanya: ‘Hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 19: 19). Dalam Perjanjian Lama pun disebutkan: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan Tuhan, Allah, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.” (Kitab Ulangan 5: 16).
Sang Penulis ‘Menipu’!
Qs. Al-Anbiya’ [21]: 91 tentang peniupan roh Allah ke dalam rahim Maryam adalah “kinayah”: tentang peletakan satu rahasia kemahakuasaan Allah s.w.t. di dalam rahim Maryam, yaitu janin Yesus Kristus dan kehidupannya. Kata “min ruhina” yang diterjemahkan dan difahami oleh sang penulis sebagai “ruh dari Kami” sebagai roh Allah adalah “tidak benar”. Yang benar adalah “ruh dari pihak Kami”, yaitu malaikat Jibril a.s. Inilah bentuk penyesatan terselubung dari sang penulis.[38] Apa yang diklaim oleh sang penulis adalah pengaruh dari dogma Kristen, yang mengartikan “Roh Kudus” sebagai oknum Tuhan yang ketiga: Tuhan Roh Kudus. Dalam Islam tentu saja berbeda. Roh Kudus (al-Rûh al-Quds) dalam Al-Qur’an adalah malaikat Jibril a.s. Jika sang penulis menjadikan Al-Qur’an sebagai pendukung argumentasi batilnya, ini adalah penipuan dan ini tidak bisa dibenarkan.
Sang penulis juga mengakui (berdasarkan Kitab Ibrani 2: 7-9) bahwa Yesus – Anak – Manusia itu dibuat sedikit lebih rendah daripada malaikat. Tapi dia berkeliat dan menyatakan: “Tentu saja lebih rendah, sebab terkurung di dalam jasad manusia, sehingga kemampuan Yesus menjadi sangat terbatas termasuk urusan kemanusiaannya: haus, lapar, dapat mati fisiknya, dll. Namun selaku penyandang sebagai Roh TUHAN, wajarlah jika Yesus – Anak – Manusia memiliki otoritas lebih luhur dibandingkan semua nabi, bahkan memiliki otoritas terhadap setan-setan, yang disepanjang Kitab2 Injil terbukti selaluk takluk kepada Yesus.}[39]
Di sini, sang penulis mengelabui para pembaca lagi. Padahal, jika sebagai unsur Tuhan, maka kegiatan dan aktivitas Yesus Kristus tidak boleh terbatas, karena dia menyandang predikat “Roh TUHAN”. Sayang sekali, bukti yang sangat kuat dari Kitab Ibrani 2: 7-9 ditolak oleh sang penulis, karena ingin memasukkan dogma Kristen kepada memori para pembacanya. Padahal, di dalam Injil, Yesus pernah dicobai oleh setan. Dan setan tidak takluk padanya. “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” (Lukas 4: 1-2). Dia dicobai oleh Iblis, berarti dia bukan Tuhan. Dan jika dia mengandung Roh Tuhan, tidak harus merasakan lapar. Karena dia merasa lapar, maka kedudukannya sebagai “Roh Allah” sangat perlu dipertanyakan.
Sang penulis kemudian menyelewengkan ayat Al-Qur’an (Qs. Al-Nisa’ [4]: 158) kembali. Dia menyatakan:
“Kemampuan menyatukan kembali kedua bagian diriNya dinyatakan secara tersamar dalam Quraan, surah An Nisaa [4]: 158: Tetapi Allah {maksudnya: Yang Maha Tinggi} telah mengangkat Isa = {Yesus} kepadaNya…
Diangkat kepada TUHAN, bukan sekedar diangkat ke Sorga. Dan selaku Tuhan Yang Maha Besar, pengertian “kepadaNya” tentu bermakna menyatu kepada diriNya. Surat Ali Imran ayat 55 juga mengajarkan yang serupa. Bahwa Tuhan dan TUHAN kembali (bahkan tidak pernah terpisah), disabdakan oleh Yesus, dalam Yohanes 10: 30: “Aku dan Bapa adalah satu!” Tidak pernah terpisah, karena roh adalah seperti angin {pelajari Yohanes 3: 8}, tidak tepat seperti Amoeba, yang adalah zat padat dan zat cair. Kebenaran didalam urusan ‘angin’ (atmosfir adalah: “ANGIN” (atmosfir) besar dan ‘Angin’ (atmosfir) kecil di dalam paru-paru manusia tidak pernah terpisah mutlak.”[40]
Di awal pembahasan pasal ini sang penulis mengumpamakan Allah dalam membelah diri dengan “Amoeba” sekarang dia menolak argumentasinya sendiri. Bahwa Allah tidak seperti Amoeba, melainkan seperti “angin”. Sunggung plin-plan penulis brosur menyesatkan ini.
Kemudian, kata ‘bal rafa‘ahu Allahu ilayhi’ dalam Qs. Al-Nisa’ [4]: 158 yang diselewengkan oleh sang penulis tidak bermakna Yesus menyatu kembali dengan Bapanya di surga. Yesus (‘Isa) diangkat oleh Allah “kepada-Nya” bukan untuk bersatu kembali, tapi untuk menghindari pembunuhan terencana dari pihak Yahudi. Dan dalam Injil pun, jika penulis mau jujur, Yesus kembali ke Sorga bukan untuk bersatu dengan Bapanya, tapi untuk duduk di sebelah kanan Bapanya. “Sesudah Yesus berkata demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke Sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah.”[41]
Perhatikanlah kata “terangkatlah”. Kata ingin menyiratkan dua hal penting. Pertama, Yesus bukan Tuhan, sehingga dia tidak kuasa untuk mengangkat dirinya. Sehingga kitab Injil mengatakan “terangkatlah”. Artinya tidak sengaja diangkat ke langit. Kedua, jika demikian poin pertama itu, maka ia diangkat oleh pihak lain, yaitu Allah s.w.t. Yang Maha Kuasa dan Maha Agung. Maka benarlah firman-Nya dalam Qs. Al-Nisa’ [4]: 158.
Dan untuk Qs. Ali ‘Imran [3]: 55, maksudnya adalah:
“Allah telah mengakat hamba-Nya dan rasul-Nya ‘Isa kepada-Nya, lalu meninggalkan –di bumi—orang yang mirip dengannya. Maka mereka –orang Yahudi dan tentara Romawi—mengambilnya: membunuh dan menyalibnya.”[42]
Justri dua versi Al-Qur’an di atas menolak keras klaim sang penulis, juga seluruh para pendeta yang biasa memutar-balikkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung maksud busuknya. Jika sang penulis menjadikan kedua ayat Al-Qur’an untuk mendukung bersatunya TUHAN dengan Tuhan (Yesus) maka dia salah ambil referensi.
Dia kemudian ingin “mengaburkan” dogma Trinitas Kristen dengan menyatakan bahwa apa yang disembah oleh umat Kristen (penganut Injil) adalah penyembahan SATU Tuhan. Dia menulis: “Suatu kebenaran Pelengkap: Isa/Yesus selaku putra Maria (m), dalam status kemanusiaanNya, di Bumi, tentu harus menyembah TUHAN, di Sorga. Menyembah Bapa Sorgawi. Namun pada saat ini (abad-XXI) ‘mereka’ sudah menyatu kembali, menjadi SATU Pribadi yang disembah! Maka para Penganut Injil murni adalah penyembah SATU Tuhan.”[43]
Dari pernyataannya di atas, muncul dua kebatilan yang ingin dia sembunyikan. Pertama, pernyataanya: “Namun pada saat ini (abad XXI) ‘mereka’ sudah menyatu kembali, menjadi SATU Pribadi yang disembah!” Jadi Yesus baru-baru saja “menyatu” dengan Bapanya di sorga. Padahal pernyataan Injil di atas sudah sekian abad lamanya. Mungkin sang penulis ketika menyatakan hal itu sedang “mengantuk” atau “mabuk”. Sehingga, dia tidak sadar dan berpikir ngawur. Kedua, para penganut Injil, mau murni atau tidak, tidak pernah menyembah SATU Tuhan, karena Yesus tidak pernah bersatu dengan Bapanya. Dia hanya duduk di sebelah kanan Bapanya. Kalau begitu, umat Kristen tetap menyembah dua Tuhan di langit, dan satu Tuhan di bumi (Roh Kudus). Jadi sang penulis sedang mengkhayal, jika menginginkan umat Kristen menjadi Kristen yang bertauhid seperti umat Islam. Jangan mengkhayal!
- BELENGGU-BELENGGU PIKIRANMANUSIA[44]
Dalam pasal ini, sang penulis ingin mendukung dogma penyaliban. Seolah-olah dogma ini benar, padahal dogma ini sangat batil. Dia menulis:
“Roh TUHAN (Rohullah; Quraan) itu sendiri tidak tersentuh salib, yang fisik. Belenggu sesungguhnya di dalam pikiran manusia: “Tidak boleh Tuhan memberi tubuh jasmaniNya disalibkan!” Lihatlah jerat yang ditanamkan oleh Iblis ke dalam pikiran sebagian umat, sehingga mereka melarang-larang TUHAN!”[45]
Jadi, orang yang menolak penyaliban Yesus Kristus adalah yang melarang TUHAN menjadi seperti itu. Dan itu menurutnya adalah jerat Iblis dalam pikiran manusia. Sungguh menggelikkan sekali cara berpikir seperti ini. Lalu apa tujuan penyaliban itu menurut sang penulis. Dia mencatat:
“Maksud yang lain dalam mengijinkan tubuh-jasmaniNya disalibkan adalah demonstrasi-kan kepada umat TUHAN bahwa jasad manusia tidak berarti. Semua jasad manusia datang dari debu, pasti kembali menjadi debu (Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.) Hal itu adalah sebagian dari pengajaran Injil yang disampaikan oleh Yesus dalam Yohanes 6: 63; “…Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna…” (Tidak berguna untuk hidup dalam kekekalan).[46]
Di sinilah liciknya sang penulis. Ketika ia menyatakan bahwa Yesus bersatu dengan Tuhan di langit, dia menggunakan Qs. Al-Nisa’ [4]: 158. Tapi ketika menawarkan dogma penyaliban, dia tidak berani mengutip ayat yang sama. Padahal dalam Qs. Al-Nisa’ [4]: 158 Allah berfirman: “…wa ma qataluhu wa shalabuhu, wa lakin syubbiha lahum…” (Mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya. Melainkan (mereka membunuh dan menyalib) orang yang diserupakan bagi mereka). Inilah yang disebut pragmatisme itu. Dalam tulisan ilmiah, ini tidak dapat diterima karena tidak dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan.
Untuk mendukung dogma Trinitas juga, dia menulis sepeti di bawah ini:
“Sungguh menyedihkan, sebagian umat terkungkung dalam paham keliru, menganggap bahwa TUHAN itu tiga pribadi, dan ketiganya sama martabat. Akibatnya muncul ejekan: “Mana mungkin 1+1+1=3?[47] Belenggu pikiran sedemikian harus dipatahkan. Yang benar adalah ‘1’ yang menjadi pangkal atau induk, lalu yang satu itu, untuk sementara memecah diri menjadi dua, untuk kemudian menyatu kembali. Dan keseluruhan Roh TUHAN itu tidak pernah berkurang, karena perpisahan yang terjadi adalah semu. Dalam Alam Roh, setiap bagian Roh itu tetap dalam satu kesatuan (Yohanes 10: 30). Di bawah inilah kebenaran ilahi:
Yang Maha Besar memisahkan sebagaian RohNya, masuk ke dalam jasad manusia (Yesus – Anak – Manusia). Lalu jasad manusia itu pecah (Yesus tersalib), prasyarat agar kedua ‘bagian’ itu dapat menyatu kembali. Terjadinya penyatuan kembali, dilanjutkan dengan pencurahan bagi semua umat manusia yang menerima Ruhul Qudus itu!”[48]
Lumayan tinggi khayalan sang penulis ini. Orang pintar pun tidak apat menerima matematis seperti ini: 1+1+1=1. Orang yang berakal sehat dan berpikir dengan benar tidak pernah dapat menerima teka-teki ketuhanan yang membingungkan ini. Dogma ini juga sangat mencederai kesucian Allah s.w.t. Oleh karena itu, Prof. Crane Briton dalam bukunya The Shaping or Modern Mind mengatakan: “Take the Christian doctrine of Trinity. Mathematics was againt that. It no respectable arithmetical system could three be three and the same time one” (Ambillah ajaran Kristen tentang Tritunggal. Matematika menentangnya. Tidak ada sistem ilmu hitung yang pantas dihormati yang mengatakan bahwa tiga sama dengan tiga tetapi pada saat yang sama adalah juga satu).[49]
Siapa yang tidak kenal dengan Karl Marx. Dia sangat luar biasa pintarnya. Tapi ketika berbicara tentang Trinitas, dia malah mengatakan: “Soll sie in dem einen Lande glauben, daB 3x1=1” (“Dapatkan manusia mempercayai bahwa tiga kali satu sama dengan satu?”)[50]. Maka banyak para pemikir Kristen yang tak sampai nalarnya untuk memikirkan dogma ini. Akhirnya dia menerima secara apologetis. St. Anselm, misalnya, menulis Cur Deus Homo. St. Augustine juga menulis de Trinitate dan memproklamasikan slogan: “Credo ut intellegum” (Aku percaya supaya aku bisa mengerti). Senada dengan Augustine, Tertullian menyatakan: “Credo quia absurdum (“Aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal”).[51]
Sekali lagi, sang penulis tidak berani mengutip Al-Qur’an yang menolak dogma Trinitas yang membingungkan ini. Karena siapa saja yang mengakui dan meyakini dogma ini akan dicap “kafir”. Sementara sang penulis sejak awal mengklaim dan mendaulat dirinya sebagai “pengikut Injil Yesus yang murni”, karena dia adalah ‘Murid Yesus’. Pragmatis memang. Benar-benar pragmatis!
- UMAT TUHAN, JANGAN SALING MENGEJEK!
Dalam pasal ini, sang penulis menjadi ‘Pahlawan Kesiangan’. Dia pura-pura membela Al-Qur’an, padahal dia menyalahkan ayat-ayat Allah. Dia menulis:
“Sekedar menunjukkan betapa kerasnya pertikaian umat yang beragama Semawi, lihatlah ‘perang’ yang dilancarkan oleh sebagian umat terhadap Al Quraan.
Pada tahap pertama, dikutip ayat Quraan, Surat An Nisaa (4):82:…Kalau sekiranya Al Quraan itu bukan dari sisi Allah (yakni TUHAN), tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. Lalu dikutip dan ditunjukkan beberapa pasang ayat Quraan dan Hadits, serta pertentangan yang diidap ayat-ayat itu, untuk kemudian menyimpulkan bahwa lancunglah Quraan, padahal tidak demikian kebenarannya!
Beberapa pertentangan di dalam Quraan yang mereka tampilkan (dikutip 3 pasang saja), lalu dinyatakan bertentangan adalah sebagai berikut (baca juga footnote[52] masing-masing, yang menjelaskan titik pertentangannya):
[1] Allah (maksudnya: TUHAN) tentu terkemuka<>Al Masih Isa terkemuka di dunia dan di akhirat (QS.3:45).
[2] QS.31:34; Hanya pada sisi Allah (maksudnya: TUHAN) pengetahuan tentang kiamat<>Isa memberi pengetahuan tentang kiamat (QS.43:61).
[3] QS. 22:17; Allah (maksudnya: TUHAN) memberi keputusan di akhirat <>Isa menjadi saksi terhadap mereka (QS.4:159). Lebih jauh lagi, Hadits Nabi menyatakan Isa menjadi Hakim di akhir zaman! Berarti Isa/Yesus yang Rohullah memutuskan nasib manusia.[53]
Dalam foot-notenya sang penulis mencatat seperti di bawah ini:
- Foot-note no.1: Surat Al Hadid (57):2: KepunyaanNyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu X …namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat…{Ali ‘Imran (3):45}. PERTENTANGANNYA: Yang terkemuka di dalam setiap kerajaan (langit dan bumi) adalah raja. Apa Isa sudah merebut martabat Yang Maha Tinggi.
- Foot-note no.2: Surat Luqman (31):34: Sesungguhnya Allah (baca: TUHAN), hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat X Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat…{Az Zukhruf (43):61). PERTENTANGANNYA: Apa salah satu ayat Quraan ini harus dibatalkan?
- foot-note no.3: Surat Al Hajj (22):17:…Allah (baca: TUHAN) akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat X Dan tidak seorangpun dari Ahli Kitab melainkan akan beriman kepada Isa sebelum matinya, dan pada hari kiamat dia menjadi saksi terhadap mereka {An Nisaa (4):159}…bahkan di dalam Hadits Shahih Muslim I, no.104 dicatat kesaksian Muhammad: “Demi Allah (TUHAN), sungguh ‘Isa anak Maryam akan turun menjadi Hakim yang adil.”[54]
Solusi yang ditawarkan oleh sang penulis adalah:
- Al Masih Isa (dalam kesatuan dengan TUHAN), terkemuka di dunia an di akhirat (QS.3:45=Matius 28:17).
- Isa/Yesus, dalam kesatuan dengan TUHAN, memberi pengetahuan tentang kiamat (QS.43:61=Matius pasal-24 dll.).
- Isa/Yesus (dalam kesatuan dengan TUHAN) menjadi Hakim di akhir zaman! Berarti Isa/Yesus yang memutuskan nasib manusia! (Hadits Nabi=Matius 25:31-46).[55]
Para pembaca, mari kita lucuti kerancuan dan penipuan di balik pemikiran sang penulis booklet ini satu persatu.
Pertama, Qs. Al-Hadid (57): 2 tidak dapat dipertentangan dengan Qs. Ali ‘Imran (3): 45. Qs. 57: 2 berbicara tentang kekuasaan Allah s.w.t: baik di langit dan di bumi. DIAlah raja diraja. Tidak ada yang lebih berkuasa daripada Allah s.w.t. Apalagi dibandingkan dengan Yesus Kristus. Yesus hanyalah hamba Allah dan rasul-Nya. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Qur’an, bahwa Kristus (Al-Masih) tidak “segan-segan” menundukkan dirinya sebagai hamba Allah di hadapan Allah s.w.t.[56] Sedangkan Qs. 3: 45 membicarakan kemuliaan nabi ‘Isa a.s. Celakanya, sang penulis tidak mau merujuk tafsir-tafsir Al-Qur’an. Dia sengaja memahami ayat-ayat Al-Qur’an (sejak lembaran pertama tulisannya) secara letterlijk, agar dapat memasukkan paham sesatnya.
Umat Islam mengakui bahwa Yesus Kristus (‘Isa a.s.) adalah seorang nabi yang terkemua, ‘wajihan fi al-dunya wa al-akhirah’. Ini diakui oleh Allah. Dan umat Islam wajib mengimaninya. Iman seorang Muslim tidak akan sempurna, sebelum mengimani seluruh nabi-nabi Allah, termasuk Yesus ini. Tapi apakah yang dimaksud dengan ‘wajihan fi al-dunya wa al-akhirah’? Syeikh al-Sa‘di mencatat:
“Maksudnya: memiliki keagungan di dunia. Allah telah menjadikannya sebagai salah seorang rasul dalam golongan ‘ulul azmi’; sebagai nabi pembawa hukum dan syariat yang memiliki banyak pengikut; Allah menjadikan sebagai orang yang banyak diingat: dari Timur hingga Barat. Dia juga terkemuka di akhirat: dia memberikan syafat kepada para sahabatnya, nabi dan rasul; keutamaanya tampak di seantora dunia. Oleh karenanya, dia termasuk nabi yang dekat dengan Tuhannya (min al-muqarrabin). Bahkan, nabi ‘Isa berada dalam golongan para penghulu orang-orang yang mulia.”[57]
Sejatinya, sang penulislah yang ingin mempertentangkan ayat-ayat Al-Qur’an, bukan orang lain seperti dalam tuduhannya yang tak berdasar itu. Dengan begitu Qs.3:45 tidak dapat disamakan dengan Matius 28: 17. Karena Matius 28: 17 hanya berbicara tentang penyembahan para murid kepada Yesus. Bahkan, disebut dalam Injil tersebut, beberapa orang malah ragu-ragu.[58] Qs. 3: 45 berbicara tentang kemuliaan nabi ‘Isa a.s. di dunia dan di akhirat, sementara Matius 28: 17 hanya berbicara tentang “penyembahan para murid”.
Kedua, Qs. 31: 34 tidak bisa dikonfrontasikan dengan Qs. 43: 61. Kenapa? Karena Qs. 31: 34 berbicara tentang terjadinya hari kiamat, dimana ilmunya hanya pada pada sisi Alalh s.w.t. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan Kiamat itu terjadi. Hanya Dialah yang mengetahuinya. Sementara Qs.43: 61 berbicara tentang nabi ‘Isa a.s. yang menjadi bukti dekatnya hari Kiamat. Karena ayatnya berbunyi, ‘wa innahu la‘ilmun li al-saa‘ati’. Artinya: ‘Isa ‘alayhissalam itu merupakan dalil tentang hari Kiamat yang sudah semakin dekat waktu terjadinya. Dan Allah Yang Maha Kuasa (al-Qâdir) yang menjadikannya dari seorang ibu tanpa bapak, maka DIA mampu untuk membangkitkan orang-orang yang telah mati dari kubur mereka. Atau, ‘Isa ‘alayhissalam akan turun di akhir zaman. Dan turunnya ‘Isa a.s. itu menjadi satu tanda dari tanda-tanda akan terjadinya hari Kiamat.”[59] Ini justru sesuai dengan hadits Nabi s.a.w. yang bercerita tentang akan turunnya ‘Isa ibn Maryam menjelang hari kiamat itu, yang juga dikutip oleh sang penulis namun dipahami secara ngawur.
Maka, Qs. 43: 61 tidak bisa disandingkan dengan Matius 24. Penulis tidak tahu, ayat keberapa dari Matius pasal 24 yang dimaksud oleh sang penulis booklet. Setelah penulis cek di dalam Injil, maksud sang penulis mungkin adalah ayat 36. Dimana Yesus menyatakan bahwa dia “tidak tahu tentang terjadinya hari kiamat”. Yesus memberikan pengakuan jujur tentang hari kiamat itu: “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri.”[60]
Nah, justru Matius 24: 36 ini sinkron dengan Qs. Luqman (31): 34. Jadi yang salah adalah khayalan sang penulis booklet ini. Jadi Allah di dalam Al-Qur’an dan Injil Matius 28: 36 tidak salah ketika menyatakan bahwa tidak ada yang mengetahui hari kiamat itu. Yesus pun mengakuinya dengan sangat ‘polos’ dan jujur. Apa yang dilakukan oleh sang penulis sungguh memalukan! Tidak jujur!
Ketiga, Qs. 22: 17 tidak dapat dipertentangan dengan Qs. 4: 159. Dalam surah al-Hajj, Allah s.w.t. menjelaskan tentang diri-Nya yang hanya akan memberikan keputusan di antara seluruh manusia. Sementara sura al-Nisâ’ hanya menceritakan bahwa nanti di hari kiamat, Yesus akan menjadi saksi atas Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen). Jadi tidak ada pertentangan sama sekali. Jika dihubungan dengan hadits Nabi s.a.w. dalam Shahih Muslim, I, no.104 justru semakin jauh. Karena Nabi s.a.w. hanya mengakui bahwa ‘Isa ibn Maryam akan turun menjelang hari kiamat (ingat! Menjelang hari kiamat, bukan pada hari kiamat). Jadi, Qs. 22: 17 dan Qs. 4: 159 tidak dapat disamakan dengan Matius 25: 31-46.
Dalam pasal ini juga, sang penulis menyelewengkan Qs. Al-Nâs (114): 1. Dia menulis:
“Di dalam hikmat yang disampaikan di dalam Buku ini (maksudnya booklet yang ditulisnya_penulis), mudahlah dimengerti apa yang tertulis dalam Quraan, Surat An Nas, kilauan mutiara penghujung Al Quraan:
- Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.”[61] Frase ‘yang memelihara dan menguasai’ yang berada dalam kurung dicoret oleh sang penulis. Menurutnya: “Kata-kata dalam kurung ini adalah tambahan (tafsiran) oleh penterjemah Quraan; penambahan yang merusak arti, sehingga dicoret alias tidak perlu dibaca. Tuhan manusia adalah satu kata majemuk, yang tidak dapat dipisahkan. Kata majemuk inipun tidak berbunyi Tuhannya manusia. Arti yang sebenarnya adalah Tuhan yang berwujud manusia.[62]
Ini semakin menampakkan kebodohan sang penulis tentang konsep Tuhan (rabb) dalam Al-Qur’an. Apa yang dilakukan oleh sang penerjemah Al-Qur’an tidaklah mengurangi makna ayat Al-Qur’an. Kata yang ada dalam kurung oleh para ulama, pakar tafsir, biasanya disebut sebagai tarjamah tafsîriyyah (penerjemahan yang berupa penafsiran). Kata kata rabb di dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Tawhid Islam bermakna sang: ‘pemilik, pemelihara, pemberi rizki, yang menguasai, menghidupkan dan mematikan, dll’. Inilah yang tak difahami oleh sang penulis. Karena kebodohannya ini dia pun menyalahkan sang penerjemah Al-Qur’an. Umat Islam tidak pernah punya masalah, mau dicantumkan atau tidak kata ‘yang memelihara dan menguasai’ dalam kurang tersebut. Karena ayat Al-Qur’an yang berbunyi rabb al-nas (Tuhan manusia) tidak memiliki masalah, karena masih merupakan teks asli: sejak wahyu diturunkan di zaman Rasulullah s.a.w. hingga hari kiamat nanti. Tidak seperti Bible, dimana bahasa aslinya (Hebrew dan Arami) tidak dapat diselamatkan. Sehingga Bible pun tak terselamatkan. Sehingga terjemahan Bible pun tidak bisa menjadi terjemahan yang “permanen”, karena tidak punya rujukan yang paten dan pasti.
Sang penulis juga salah besar, jika menyalahkan maka rabb al-nas (Tuhan manusia). Apalagi jika dinyatakan bawah yang benar adalah: Tuhan yang berwujud manusia. Padahal Injil sendiri menolak hal ini. Yesus pun tidak pernah mengajarkan hal ini. Ini adalah penipuan dan penyesatan. Jadi, sebaiknya sang penulis belajar bahasa Arab secara mendalam, agar penilaiannya lebih objektif. Karena jika dia tahu istilah ‘mudhaf wa mudhafun ilayhi’ dalam bahasa Arab, dia tidak akan mengatakan bahwa rabb al-nâs sebagai “Tuhan dalam wujud manusia”. Di sini pun dia ‘menyempatkan diri’ untuk menyusupkan konsep ketuhanan Yesus Kristus, sebagai jelmaan Tuhan dalam wujud dan bentuk manusia.
- KEBATILAN IBLIS[63]
Inilah poin terakhir dari booklet yang ditulis oleh penulisnya. Dia mengaku bahwa tulisannya ini bukan bertujuan untuk “kristenisasi”. Dia menulis:
“Sekali lagi, tulisan ini tidak bertujuan kristenisasi. Di seluruh buku ini tidak ada ajaran agar Saudara berpindah Agama. Penulis sekedar menyerukan untuk mengembalikan kemuliaan TUHAN, tidak lagi terbelenggu, lalu umat agar menyembah TUHAN, Yang Maha Tinggi, Yang sebagian RohNYa pernah hadir di dalam diri Yesus—Anak—Manusia.”[64]
Apapun pengakuan sang penulis, yang jelas booklet yang ditulisnya sangat menyesatkan. Meskipun tidak mengaku melakukan kristenisasi, tapi isinya tentang Kristen tidak dapat dibiarkan. Minimal, sang penulis sudah merusak konsep “Allah” dan konsep “Agama”.
Tentang Mengusir Setan!
Dalam foot-note ke-27, sang penulis mencatat:
“Pengalaman mengusir setan adalah perkara biasa bagi umat beragama Kristen yang menataati Injil Yesus! Betapa pedih hati ini memirsa peristiwa demi peristiwa di mana puluhan siswa/siswi Sekolah Lanjutan dirasuk setan, tidak dapat cepat ditolong. Padahal ada kuasa yang tersembunyi dalam Surat An Naas, mutiara di penghujung Quraan!.”[65]
Ada satu peristiwa bersejarah bagi para pendeta di seluruh dunia. Tepatnya di Green Area, Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1978. Pada tahun itu, seluruh pendeta di dunia berkumpul untuk membicarakan satu hal penting: bagaimana cara mengkristenkan umat Islam di dunia. Salah satu cara Kristenisasi yang disepakati ketika itu adalah: pengiriman roh jahat kepada umat Islam. Inilah yang sekarang banyak gencar dilakukan oleh seluruh penginjil (Evangelist), disamping Germil (Gerakan Hamilisasi). Umat Islam tidak heran dengan ulah seperti itu. Ternyata umat Kristen sudah putus asa untuk mengkristenkan umat Islam. Karena saat ini, umat Islam tidak mungkin dikristenkan lewat 2 kg beras, 1 kg ikan asin, 1 kg minyak sayur plus 2 bungkus Indomie.
Ketika umat Islam kerasukan, umat Kristen akan memasukan jurus liciknya. Dengan menggunakan nama Yesus, seolah mereka dapat mengusir Jin dan roh jahat. Karena, menurut mereka, roh jahat, seperti yang diberitakan oleh Injil dapat diusir oleh Yesus Kristus. Seolah menyindir, sang penulis booklet ini menyatakan bahwa orang Kristen sudah terbiasa mengusir roh jahat itu. Dalam Islam pun ada yang disebut ruqyah syar‘iyyah dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan dalam Islam lebih luar biasa. Tidak perlu menyebut nama Yesus, asal ikhlas membacakan ayat-ayat Allah, insya Allah segala roh jahat akan menjauh. Ini tantangan bagi umat Islam, agar berhati-hati. Karena umat Kristen sudah merusak ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasul s.a.w. demi tujuan busuk mereka.
Penutup
Setelah penulis membaca lembaran booklet dan 3 brosur yang ditulis, penulis melihat bahwa tujuan sang penulis adalah:
Pertama, merusak konsep Allah Yang Maha Esa. Dia banyak memutarbalikkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ini tentu tidak dapat dibiarkan. Orang-orang awam yang membaca booklet ini bisa tersesat.
Kedua, sang penulis juga merusak konsep “agama”. Menurut Yesus tidak menyampaikan agama apapun. Yang ia sampaikan hanya Injil saja. Tapi di setiap lembar tulisannya, dia banyak mengutip ayat-ayat Injil, terutama yang mendukung tujuan busuknya. Dia lupa bahwa ketika dia mengatakan satu agama tidak penting, dia telah “merusak” ajaran setiap nabi yang diutus oleh Allah, khususnya nabi Musa a.s. yang membawa agama Yahudi, nabi ‘Isa a.s. yang meneruskan agama Yahudi dan nabi Muhammad s.a.w. yang membawa Islam. Semestinya sang penulis memeluk Islam, karena itu agama terakhir. Agama yang paling mulia di sisi Allah. Karena Islam adalah mata rantai emas: sejak zaman Adam a.s. – Yesus Kristus dan disempurnakan oleh rasulullah Muhammad s.a.w. Dan satu-satunya agama yang ditetapkan langsung oleh Allah s.w.t. adalah “Islam”[66], tidak ada yang lain. Seorang muallaf, Ibrahim Musa Daud Isa Muhammad Alwi Chow Cin Wi/Mhd Awi Cheng Ho/Ibnu Cini, mengakui hal ini:
“Pemberian nama Din/Ajaran/Agama Islam jelas dan resmi tertulis di dalam Al-Qur’an yakni di dalam surat Ali Imran ayat 19 & serta surat Al-Ma’idah ayat 3, dan itu saya katakan Stempel Emas Tuhan yang resmi dalam kitab suci-Nya, tidak seperti yang lainnya, tidak jelas dan hanya mengikuti hawa nafsu dan tidak mendasar seperti contoh: Agama Yahudi berasal dari kata suku Yehuda (salah satu dari 12 suku Bani Israel), Agama Hindu berasal dari negeri Hindustan/Hindu, Agama Buddha berasal dari status yaitu (Nabi, bahasa Arab), Agama Kong Hu Cu berasal dari nama si pembawa sendiri yaitu Nabi Kong Hu Cu, Agama Nasrani karena Nabi Isa a.s. dari nama daerah Nazareth (ini sama kejadiannya dengan panggilan lain untuk Sidarta Gautama yaitu Sakya Muni yang artinya Orang Suci dari Sakya / dalam bahasa Mandarin selalu disebut Sek Cia Moni), Katholik pengertiannya Sah dalam bahasa Yunani (karena disahkan oleh Kaisar Konstantin pada konsili Nicea pada abad 4), Kristen Protestan / Budak Pembangkang ini diucapkan oleh pihak Gereja Katolik kepada kelompok Martin Luther dkk yang memprotes kebijakan Gereja pada waktu itu (pada abad 16). Sedangkan bagi Ummat Muslim pembagiannya jelas yaitu Agamanya Islam, Tuhannya Allah, kitab sucinya Al-Qur’an, dibawa oleh seorang Nabi / Rasul, bernama Muhammad, dari suku Qurais, yang lahir di kota Mekkah, dari neger/tanah Arab, dengan julukan Al Amin/Terpercaya. Jadi sangat berbeda pemberian nama Agama Islam dibandingkan dengan pemberian nama ajaran kafir lainnya, oleh karena, oleh karena itu sangat disayangkan kalau ada yang menyatakan “Agama-Agama” lain. Kesimpulannya “Agama Islam” adalah syariat Agama yang paling sempurna, lengkap, gampang, sederhana, adil, yang dapat diamalkan saat ini dan menjawab setiap tantangan zaman serta paling mengangkat / menjunjung tinggi harkat martabat kaum wanita; sebab sebelum datang syariat Islam kaum wanita sanga tidak berharga/tertindas, jumlah istri tidak terbatas, lahir bayi wanita dibunuh karena dianggap pembawa sial dsb. Jadi Ummat Muslim adalah ummat yang paling menjaga ajaran para nabi.”[67]
Ketiga, sang penulis tidak konsisten dan pragmatis dalam menyampaikan ide dan pemikirannya. Tentu saja ini merusak citra pribadinya. Hal ini disebabkan oleh niatnya yang tidak baik dan tujuannya yang tendensius.
Apa yang penulis lakukan tentu semuanya berasal dari tanggungjawab moral bagi para pembaca. Seluruh kebenaran yang tercecer dalam lembaran sanggahan ini berasal dari Allah s.w.t.: Tuhanku dan Tuhan kita yang Maha Esa, Maha Suci, dan Maha Kuasa. Segala kesalahan sekecil apapun adalah ketergelinciran hamba yang dha’if: lemah, tiada daya dan upaya kecuali karena kasih-sayang dan kurnia Ilahi Rabbi Yang Maha Sempurna.
Atas kesalahan itu hamba mohon ampun kepada Allah s.w.t. Sang Maha Pengampun. Ighfir li ya ghaffar, ighfir li ya ghafur. Dan kepada para pembaca saya mohon maaf. Semoga kita tetap berjuang dengan istiqamah dalam membawa agama kita, Islam yang mulia ini. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Q]
(Pagi yang cerah di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Paya Bundung, 23 Mei 2007).
Riwayat Penulis
Nama: Qosim Nursheha Dzulhadi. Lahir di Jakarta, 26 Juni 1980. Anak pertama dari lima bersaudara. Pada tahun 1983 ‘hijrah’ ke Aceh Selatan, di Simpang Kiri, bersama orangtua. Pada 1987 ‘hijrah’ kembali ke Tanah Karo, kecamatan Tiga Binanga hingga sekarang. Menamatkan SD di SD Bersubsidi Sirajul Huda, Tiga Binanga (1993); Mts Sirajul Huda (1996); Madrasah Aliyah Sirajul Huda (1998, tidak selesai, karena masalah finansial); Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan (1998-2002); Universitas Al-Azhar, Kairo (2002-2006). Sekarang aktif sebagai staff pengajar di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah. Aktif menulis sejak menjadi santri. Aktif menulis di Majalah Suara Hidayatullah. Karya tulisan yang sudah dipublikasikan adalah: (1) Sejarak Kodifikasi Sunnah: Sejak Masa Nabi s.a.w. hingga Isu-isu Kontemporer (kontributor sekaligus editor), (HMM Press, 2006); (2) Revitalisasi Turat (kontributor), (PCIM (Pengurus Cabang Istimewat Muhammadiyah, Mesir) Press bekerjasama dengan KBRI Mesir, 2006); dan (3) Penelitian Turats: Acuan Umum dalam Meneliti Turats Arab (editor). Buku terakhir ini adalah karya terjemahan, karangan Prof. ‘Isham Muhammad El Shanti, penerjemah: Arwin Juli Rakhmat Butar-Butar, SHI, Dipl. (Al-Majdi Press, Kairo, 2007). Hingga sekarang menjadi peminat Qur’anic-Hadith Studies & Christology.
[1] Judul booklet tersebut adalah “Siapa Membelenggu TUHAN?” dan ketiga brosur itu adalah: (1) Bencana, Malapetaka, Kecelakaan; (2) Mutiara Al-Qur’an memberi petunjuk bagi penderita sakit-parah; dan (3) Putusan Hakim: BEBAS! Penulisnya tidak memberikan alamat instansi tempat mereka melakukan “pengaburan akidah” tersebut. Dia hanya meninggalkan nomor handphone: 081314530520 dan e-mail: autor06hj@yahoo.com. Tapi dalam bookletnya, sang penulis meninggalkan alamat e-mail yang berbeda: zilomdo07@yahoo.com.
[2] Lihat, Frans Donald, Allah dalam Alkitab dan Al-Qur’an: Sesembahan yang SAMA atau BERBEDA? (
[3] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 2
[4] Ibid.
[5] Lihat, Siapa Membelenggu TUHAN, hlm. 4.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Michael Keene misalnya, menulis: “Terjemahan kitab suci Yahudi paling awal adalah Septuagint (juga dikenal dengan LXX), yakni terjemahan dari bahasa Ibrani ke Yunani untuk memenuhi kebuTUHAN orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia yang berbicara bahasa Yunani dan sudah tidak dapat berbicara bahasa Ibrani. Terjemahan ini menjadi dasar bagi banyak penerjemahan sesudahnya, termasuk versi Vulgata dari bahasa Latin oleh St. Hieronimus tahun 382 SM yang begitu berpengaruh.” Lihat, Michael Keene, Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuk, dan Pengaruhnya, terjemah: Y. Dwi Koratno, (
[9] Ibid., hlm. 5.
[10] Christopher D. Hudson, Carol Smith, Valerie Widemann, Buku Pintar Alkitab: Cara Terlengkap, Termudah, dan Menyenangkan untuk Memahami Firman Allah, terjemah: Michael Wong, (
[11] Baruch Spinoza, Kritik Bibel, terjemah: Salim Rusydi Cahyono, (Bekasi: Fima Rodheta, cet. II, 2006), hlm. 49.
[12] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 7.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm.7.
[16] Ibid., hlm. 7 (foot-note).
[17] Qs. Al-Syura [42]: 11.
[18] Qs. Al-Ikhlâsh [112]: 4.
[19] Ibid., hlm. 8.
[20] Ibid., hlm. 8.
[21] Qs. Ali ‘Imrân [3]: 102.
[22] Sepuluh Perintah Allah ini termaktub dalam Kitab Ulangan 5: 7-21, yaitu: (1) Jangan ada padamu TUHAN lain di hadapan-Ku; (2) Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya, atau beribadah kepadanya; (3) Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan; (4) Tetaplah ingan dan kuduskan hari Sabat; (5) Hormatilah ayah dan ibumu; (6) Jangan membunuh; (7) Jangan berzinah; (8) Jangan mencuri; (9) Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu; (10) Jangan mengingini istri sesamamu dan harta-harta mereka.
[23] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 9.
[24] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 2.
[25] Qs. Ali ‘Imrân [3]: 75.
[26] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 9.
[27] Ketua Jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan Prof. Molecular dan Genetika Manusia, Baylor College Medicine, Houston, Amerika Serikat. Dikutip dari buku “Bukti Kebenaran Al-Qur’an” karya Abullah M. Al-Rehaili, terjemah: Purna Sofia Istianati, (YADMA: Yogyakarta, cet. I, 2003).
[28] Ibid., hlm. 10.
[29] Ibid.
[30] Ibid., hlm. 11.
[31] Ibid.
[32] Ibid., 12.
[33] Ibid., 12 dan 13.
[34] Lukas 2: 48.
[35] H. Insan L.S. Mokoginta, 101 Bukti Yesus Bukan TUHAN, (Depok: Birrul Walidaini, ce. II, 2007), hlm. 111-112.
[36] “Kata Yohanes kepada Yesus: “Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu.” (Markus 9: 38).
[37] “Pada waktu Yesus berangkat meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seseorang berlari-berlari mendampatkan Dia dan berlutut di hadapan-Nya, ia bertanya: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk mendapat hidup yang kekal? Yesus menjawab: “Mengapa kamu katakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain daripada Allah saja.” (Markus 10: 17-18).
[38] Lihat, ‘Allamah Syeikh ‘Abd al-Rahman Nashir al-Sa‘di, Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Risalah, cet. I, 2001), hlm. 530.
[39] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 13.
[40] Ibid., hlm. 14.
[41] Markus 16: 19.
[42] Syeikh Al-Sa‘di, Taysir al-Karim al-Rahman, op.cit., hlm. 132.
[43] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 14.
[44] Ibid., hlm. 15.
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Di sini sepertinya sang penulis keliru menuliskan resultannya. Penulis berasumsi, tujuan penulis adalah: 1+1+1=1. Karena terlalu ‘semangat’, dia salah menuliskan jumlahnya. Karena dalam dogma Trinitas satu+satu+satu sama dengan “satu”, bukan “tiga”. Inilah dogma paling tidak rasional dalam agama Kristen.
[48] Ibid., hlm. 16-17.
[49] O. Hashem, Keesan TUHAN, (
[50] Ibid., hlm. 109.
[51] Lihat, Qosim Nursheha Dzulhadi, Allah dalam Islam dan Kristen, majalah Suara Hidayatullah (Edisi Mei 2007/Rabi’ul Akhir 1428), hlm. 27.
[52] Untuk foot-note ini, penulis akan mencantumkannya dalam teks tulisan, agar para pembaca dapat melihatnya dengan jelas. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sang penulis booklet ini banyak melakukan manipulasi ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia ini.
[53] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 19-20.
[54] Ibid., hlm. 19-20 (dan foot-note).
[55] Ibid., hlm. 20.
[56] Qs. Al-Nisâ’ (4): 172. Berkaitan dengan Qs. 4: 171, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian perlakukan aku sebagaimana umat Nasrani melakukannya terhadap Ibnu Maryam (‘Isa). Aku hanyalah seorang “hamba”. Maka katakanlah (tentang aku): “Hamba Allah dan rasul-Nya” (HR. al-Bukhari). Sungguh, betapa mulia dan rendah hatinya Rasulullah, Muhammad s.aw.
[57] Syeikh al-Sa‘di, Taysir al-Karim al-Rahman, op.cit., hlm. 1300.
[58] “Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu.” (Matius 28: 17).
[59] Syeikh al-Sa‘di, op.cit., hlm. 768.
[60] Dalam Injil Markus 13: 32 juga Yesus mengakui: “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja.”
[61] Siapa Membelenggu TUHAN?, hlm. 21.
[62] Ibid., hlm. 21 (dalam foot-note).
[63] Ibid., hlm. 22.
[64] Ibid., hlm. 23.
[65] Ibid., hlm. 23.
[66] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 3.
[67] Ibrahim Musa Daud Isa Muhammad Alwi Chow Cin Wi/Mhd Awi Cheng Ho/Ibnu Cina, Dakwah Mu’allaf, hlm. 4. Tulisannya ini dijual bebas di Toko Buku Sembilan Wali (Wali Songo),