Wednesday, September 28, 2022

URGENSI ILMU PERBANDINGAN AGAMA

URGENSI ILMU PERBANDINGAN AGAMA[1]

Qosim Nurseha Dzulhadi

“Hai Ahli Kitab, marilah kita berpegang kepada ‘kalimat sawā’’ antara kami dan kalian, yakni: kita tidak menyembah kecuali Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun; dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai ‘tuhan-tuhan selain Allah’. Dan jika mereka berpaling (tidak mau berpegang kepada ‘kalimat sawā’’) maka katakanlah: ‘Saksikanlah oleh kalian semua bahwa kami adalah orang-orang Muslim’.”

(Firman Allah, Qs.3:64)

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الواحد الأحد، الفرد الصمد، الذى لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفوا أحد.

وأصلي وأسلم على رسل الله، وعلى خاتمهم محمد بن عبد الله، وعلى آله وصحبه، ومن والاه، أما بعد:

 

PENDAHULUAN

            Salah satu cabang ilmu dalam Islam yang mulai “pudar” pesonanya adalah ‘Ilmu Perbandingan Agama’ (‘ilm muqārnat al-adyān; ad-dīn al-muqāran). Padahal ilmu ini merupakan ilmu yang amat penting di dalam meluruskan “kebengkokan” faham pihak luar terhadap Islam. Atau, ia merupakan “alat” dalam menjelaskan keagungan Islam kepada pihak-pihak yang meragukannya. Juga ia merupakan ilmu yang digunakan oleh para ulama’ sejak dulu dalam menolak dan membantah “syubhat” penganut agama di luar Islam. Karena ‘hujatan’ dan ‘serangan’ kepada Islām terus berlangsung.[2] Maka, dapat juga ilmu ini kita sebut dengan ‘teologi apologetik’ (al-lāhūt ad-difā‘ī).  

            Pudarnya “pesona” ilmu perbandingan agama ini karena ‘keruntuhan peradaban’ (al-inkisār al-hadhārī) yang mengungkung Dunia Islam sejak beberapa abad terakhir. Karena memang ‘ladang ilmiah’ dalam bidang ini erat kaitannya dengan kecemerlangan peradaban yang bercirikan adanya ‘toleransi, keterbukaan, keterkaitan dengan pihak lain (the other, al-ākhar), jauh dari fanatisme dan ekslusivitas serta meyakini bahwa pluralitas dan keberagaman merupakan sunnah ilahiyah yang mengatur seluruh komunitas dan masyarakat, menjamin kebebasan berkeyakinan, serta tidak adanya paksaan kepada orang lain dari sisi apapun: politik, ekonomi, maupun agama.[3]

            Nah, meskipun berita-berita mengenai peradaban Islām kurang begitu menggembirakan, ilmu ini harus tetap dipelajari dan diamalkan. Mengingat dasar-dasarnya di dalam Al-Qur’an begitu banyak dan bertebaran. Dan tentunya, fakta sejarah yang menyebutkan bagaimana gigihnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berikut para sabatnya radhiyallahu ‘ahum dalam mendakwahkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan agama lain patut ditiru dan direalisasikan juga saat ini. Bukan saja karena banyak “syubhat” yang menyerang ajaran Islām, tetapi karena mempelajari ilmu ini bagian dari berinteraksi dengan Kitabullah sekaligus sebagai wujud pembelaan terhadap Islam. Untuk itu, dalam tulisan ringkas ini akan dipaparkan secara sederhana terkait hal-hal tersebut.

―1―

AL-QUR’AN DAN AGAMA-AGAMA

            Agaknya, Al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci di muka bumi ini yang memberikan perhatian serius terhadap agama-agama yang ada: Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majusi, kaum Musyrik.[4] Selain itu, Al-Qur’an juga menyinggung agama-agama secara global (umum)[5] dan spesifik. Secara spesifik Al-Qur’an mengandung kisah-kisah agama lain, seperti: Yahudi, Nasrani, Majusi, berikut penjelasan mengenai penyimpangan mereka dari jalan yang lurus.

Selain itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bagaimana menyebutkan kitab-kitab agama-agama tersebut yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu, dan bagaimana kaum kafir dan kaum musyrik berhadapan dengan para nabi mereka, serta adanya benturan yang terjadi antara yang haq dan batil, antara kebaikan dan kejahatan. Itu sebabnya Al-Qur’an begitu detail menjelaskan dasar-dasar agama-agama lain. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:

1.      Al-Qur’an menetapkan bahwa Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang nabi dan rasul untuk menegakkan hujjah atas mereka.

2.      Mengimani seluruh nabi dan rasul serta kitab yang turun kepada mereka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslim.

3.      Adanya distoris dan interpolasi dalam semua agama sebelum Islam.[6]

4.      Al-Qur’an melakukan komparasi (perbandingan) antara Tawhid dengan politeism. Al-Qur’an membantah keyakinan banyak Tuhan dengan menegaskan bahwa hal itu menyebabkan rusaknya alam.[7]

5.      Al-Qur’an yang mulia mengajak untuk melakukan adu-argumentasi dengan Ahli Kitab dengan cara yang lebih baik (lebih argumentatif). Ini mengandung isyarat untuk mengenal agama-agama, membandingkannya dengan agama-agama yang lain, agar adu-argumentasi dengan para penganut agama yang ada berlandaskan pada ilmu, dasar dan prinsip.[8]

6.      Al-Qur’an membandingkan antara Khaliq dan makhluq, dan merendahkan siapa saja yang menyamakan antara Khaliq dan makhluq.[9]

7.      Al-Qur’an mengumumkan bahwa Islam adalah agama yang haq.[10] Dan, Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah menyempurnakan agama ini. Dengan begitu tidak ada seorang pun yang mampu merusak dan mengubah agama ini (baik dengan ditambahi maupun dikurangi).[11] Ini tentunya berbeda dengan agama lain yang lain: telah diubah, dirusak, dan ditambal-sulam. Nah, berdasarkan poin-poin ini kaum Muslimin mulai mempelajari agama lain secara ilmiah dan objektif.[12]

Dari pemaparan di atas dapat ditarik satu kesimpulan penting bahwa sejak awal Allah telah menjelaskan bahwa umat Islām akan berhadapan dengan agama-agama lain. Dan agama-agama lain ini ajarannya (terutama Ahli Kitab)[13] telah menyimpang jauh dari ajaran Allah, sehingga mereka harus “dikembalikan” ke jalan Islam; jalan yang lurus ini. Dan penyimpangan-penyimpangan mereka itulah yang diungkap oleh Al-Qur’an dalam banyak ayatnya, sebagaimana disinggung sebelumnya.

―2―

ILMU PERBANDINGAN AGAMA:

KELAHIRAN DAN PERKEMBANGAN

            Sebelum membicarakan “kelahiran” dan perkembangan ilmu perbandingan agama, ada baiknya disebut lebih awal bahwa agama jika dilihat dari objek sesembahannya dibagi menjadi dua; pertama, agama yang menyeru kepada hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Di posisi awal tentu ditempati oleh Islām, kemudian disusul oleh Yahudi kemudian Nasrani. Meskipun harus segera dicatat bahwa agama ini telah dirusak dengan masuknya unsur kesyirikan karena mengandung dogma Trinitas dan lainnya.[14] Dan kedua, agama-agama paganis-syirik: yang menyeru kepada penyembahan selain Allah. Masuk dalam agama ini adalah: Hinduisme, Buddhisme, dan lainnya. Dan secara sumber, agama dibagi menjadi dua juga, yakni: pertama, agama samawi, yaitu: Islām, Yahudi, dan Nasrani; kedua, agama wadh‘i (agama buatan akal manusia), mencakup seluruh agama syirik (adyān syirkiyyah).[15]

            Mengenai pembagian agama, baik menurut objek sesembahan dan sumbernya, yang disinggung sebelumnya menunjukkan bahwa itu adalah hasil studi atau riset. Ini juga menegaskan adanya upaya penulisan dan pembahasan mengenai agama-agama. Pertanyaannya kemudian adalah: kapan dimulai studi tentang agama-agama (dirāsāt al-adyān) ini dimulia? Pakar perbandingan agama, Husnī Yūsuf al-Athīr, menyatakan bahwa pemikiran apologetik dalam Islām sudah muncul sejak awal abad ke-2 Hijrah. Namanya saat itu adalah Ilmu Kalam yang memerankan dua poros sekaligus: poros politis (al-mihwar as-siyāsī) yang dikaji dalam pembahasan ‘al-imāmah’ (kepemimpinan), dan kedua, poros akidah atau keyakinan (al-mihwar al-‘aqā’idī). Tujuan poros ini adalah: untuk membela dan membentengi Islām dari serangan musuh-musuhnya dari agama lain dan dari serangan aliran yang menisbatkan dirinya kepada Islām (aliran sempalan dan menyimpang dari Islām).[16]

            Ibn an-Nadīm dalam al-Fihrist mencatat demikian:

            أن أحمد بن عبد الله بن سلاّم ترجم للخليفة هارون الرشيد التوراةَ والإنجيلَ، وأنه تحرّى الدقّة فى الترجمة

            “Ahmad ibn ‘Abdillāh ibn Sallām telah menerjemahkan Taurat dan Injil kemudian diserahkan kepada Khalifah ar-Rasyīd. Hasil terjemahnya amat teliti.”[17]

Jadi, Menurut catatan banyak peneliti sejatinya studi agama lahir dalam dan dari “rahim” peradaban Islām. Umat Islām lah yang pertama kali menulis ilmu ini. Dan ini diinspirasi oleh Al-Qur’ān yang di dalamnya banyak disebutkan keyakinan agama lain, sejak awal turunnya, khususnya agama Yahudi dan Nasrani. Sehingga sangat logis, seperti yang dinyatakan oleh Abdullah as-Syarqāwī, bahwa “al-ubuwwah as-syar‘iyyah” alias “bapak yang sah” dari ilmu perbandingan agama adalah Islām; secara objek maupun metodologi.[18] Karena di Barat kajian terhadap agama-agama baru muncul di abad ke-19. Ini jelas sangat jauh tertinggal dari kajian para ulama Islām, selama sepuluh abad lamanya.[19]

            Selain itu, secara logis, Al-Qur’ān melakukan perbandingan antara haq dan batil. Bahwa haq harus diikuti sedangkan batil wajib ditinggalkan.[20] Kata Allah, dalam Al-Qur’ān, segala yang disembah selain Allah adalah “hamba” juga seperti manusia yang menyembahnya. Jika pun mereka diminta akan diam saja. Tidak bisa berkata-kata. Sesembahan palsu itu tidak memiliki kaki, tidak memiliki tangan, tidak memiliki mata, tidak pula memiliki telinga.[21] Belum lagi kisah para nabi dan rasul yang berhadapan dengan kaumnya yang menolak dakwah mereka, bahkan ada yang sampai mendustakan bahkan membunuh mereka, seperti kaum Yahudi, kaum nabi Nuh, kaum nabi Luth, dan lain sebagainya.

            Para ulama Islām kemudian melakukan studi hingga kodifikasi dalam agama-agama. Karena menurut mereka ini merupakan lahan dakwah. Menurut Imam Ibn Hazm al-Andalusī (w. 456 H) dalam ‘al-Fishal’: “Banyak orang menulis tentang keberagaman agama dan pandangan keagamaan dalam bentuk buku yang begitu banyak. Ada yang menulisnya dengan panjang-lebar, ada pula yang ringkas dan kecil...”[22] dan diantara para para ulama yang menulis tentang agama-agama lain adalah sebagai berikut:

1.      Abū Hudzayfah Wāshil ibn ‘Athā’ (80-131 H) menulis “al-Alf Mas’alah fī ar-Radd ‘alā al-Mānawiyyah”;

2.      Abū Hudzayl al-‘Allāf (w. 127 H; disebut pula 235 H) menulis “Mīlās”;

3.      Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Sayyār an-Nazzhām (160-221 atau 231 H). Kata Imam ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī dalam al-Farq bayna al-Firaq: “Shannafa kitāban ‘alā at-Tsunawiyyah”. Dan juga menulis “ar-Radd ‘alā ad-Dahriyyīn”;

4.      Imam Muhammad ibn Idrīs as-Syāfi‘ī (150-204 H) menulis “Kitāb Itsbāt an-Nubuwwah wa ar-Radd ‘alā al-Barāhimah”;

5.      Hisyām ibn al-Hakam (w. 221 atau 231 H) menulis: “ar-Radd ‘alā az-Zanādiqah” dan “ar-Radd ‘alā Ashāb al-Itsnain”;

6.      Abū Sahl Bisyr ibn al-Mu‘tamir al-Hilālī (w. 210 H) menulis “ar-Radd ‘alā al-Musyrikīn”;

7.      Abū ar-Rabī‘ Muhammad ibn al-Layts al-Khathīb menulis “ar-Radd ‘alā az-Zanādiqah”;

8.      Al-Kindī (Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ishāq ibn as-Shabbāh (w. 252 H) menulis: (1) ar-Risālah fī ar-Radd ‘alā al-Manāniyah; (2) ar-Risālah fī ar-Radd ‘alā at-Tsanawiyah; (3) ar-Risālah fī Naqdh Masā’il al-Mulhidīn; dan (4) ar-Risālah fī Tatsbī ar-Rusul ‘alayhimus-salām;

9.      Abū ‘Utsmān ‘Amr ibn Bahr (w. 255 H) menulis “al-Mukhtār fī ar-Radd ‘alā an-Nashārā”;

10.  Imam Abū al-Hasan al-Asy‘arī (w. 330 H) menulis “Jumal al-Maqālāt”;

11.  Imam al-Mas‘ūdī (w. 346 H) menulis “al-Maqālāt fī Ushūl ad-Diyānāt”;

12.  Imam Abū ar-Rayhān al-Bīrūnī (w. 404 H) menulis “Tahqīq mā li’l-Hindi min Maqūlat Maqbūlah fī al-‘Aql aw Mardzūlah”;

13.  Imam Ibn Hazm al-Andalusī (w. 456 H) menulis “al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal”;

14.  Imam al-Haramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī (w. 478 H/1085 M) menulis “Syifā’ al-‘Alīl fī ar-Radd ‘alā Man Baddala at-Tawrāt wa al-Injīl”

15.  Hujjatu’l-Islām Abū Hāmid al-Ghazāl (450-505 H) menulis “ar-Radd al-Jamīl li Ilāhiyyat ‘Īsā bi Sharīh al-Injīl”;

16.  Imam Abū al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad as-Syahrastānī (479-548 H) menulis “al-Milal wa an-Nihal”;

17.  Imam Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī (w. 606 H) menulis “I‘tiqādāt Firaq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn” dan menulis “Munāzharah fī ar-Radd ‘alā al-Yahūd wa an-Nashārā”;

18.  Imam Ibn Taymiyyah (w. 728 H) menulis “al-Jawāb as-Shahīh liman Baddala Dīn al-Masīh”;

19.  Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) menulis “Hidāyat al-Hayārā fī Ajwibat al-Yahūd wa an-Nashārā”;

20.  Imam ‘Abdullah at-Tarjumān (w. 823 H/1420 M) menulis “Tuhfat al-Arīb fī ar-Radd ‘alā Ahl as-Shalīb”;

21.  Imam Abū al-Fadhl al-Mālikī as-Su‘ūdī (w. 924 H/1535 M) menulis “al-Muntakhab al-Jalīl min Takhīl Man Harrafa al-Injīl”; dan banyak lagi.[23]

Selain karya para ulama klasik tersebut di atas, para ulama lain tidak berhenti mengkaji dan menulis buku mengenai agama-agama, termasuk di Indonesia. Maka kita mengenal nama ulama hebat seperti Rahmatullāh al-Hindī yang menulis buku yang spektakuler dengan tajuk ‘Izhār al-Haqq’; buku ini menginspirasi Syekh Ahmad Hosein Deedat (kristolog hebat) yang menulis buku ‘The Choice: Between Islam and Christianity’ yang fenomenal itu. Usaha Deedat ini kemudian dilanjutkan oleh Zakir Naik, dari India.

Di Mesir ada as-Sayyid Muhammad Rasyīd Ridhā yang menulis ‘Aqīdat as-Shalb wa al-Fidā’ (Penyaliban dan Penebusan Dosa); Syekh Muhammad al-Ghazālī (w. 1996) yang menulis ‘Shayhat Tahdzīr min Du‘āt at-Tanshīr’. Ada pula Prof. Dr. Ahmad Syalabi yang menulis ‘al-Yahūdiyyah’ dan ‘al-Masīhiyyah’, dan Syekh Muhammad Abū Zahrah yang menulis ‘Muhādharāt fī an-Nashrāniyyah’, Syekh Muhammad Mutawalli as-Sya‘rāwī yang menulis ‘Maryam wa al-Masīh’, Syekh Yūsuf al-Qaradhāwī yang menulis ‘Mawqif al-Islām al-‘Aqadī min Kufr al-Yahūd wa an-Nashārā’, dan banyak lagi.

Di Indonesi tentu tak ketinggalan para kristolog hebat seperti: M. Natsir yang menulis ‘Islam & Kristen di Indonesia’ dan ‘Mencari Modus Vivendi Antar Ummat Beragama di Indonesia’. Ada lagi Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang menulis ‘Islam dan Kebatinan’, ‘Empat Kuliah Agama Islam di Peguruan Tinggi’, dan ‘Filsafat Agama’; H. Arsyad Thalib Lubis (1326/1908-1972) yang menulis ‘Rahasia Bible’ (1926), ‘Keesaan Tuhan menurut Kristen dan Islam’, ‘Berdialog dengan Kristen Adventis’, dan ‘Perbandingan Agama Islam dan Kristen’ (karya monumentalnya, Medan 1969). Kita pun mengenal ulama hebat sekelas Buya Hamka yang menulis dan mengkritik Bible dan dogma Yahudi dan Kristen dalam lembaran ‘Tafsir Al-Azhar’ dan ‘Umat Islam Menghadapi Kristenisasi dan Sekularisasi’.

Ada lagi KH. Bahauddin Mudhary yang menulis ‘Dialog Ketuhanan Yesus Kristus’, KH. Abdullah Wasi’an[24] yang menulis ‘Dialog: Memahami Keimanan Kristen-Islam’, ‘Kata Bibel tentang Muhammad’ (bersama Ahmed Deedat), ‘100 Jawaban untuk Missionaris’, ‘Islam Menjawab’, ‘Jawaban untuk Pendeta’, ‘Pendeta Menghujat, Kiai Menjawab’, Dr. Adian Husaini yang menulis disertasi dengan tajuk ‘Exclusivism and Evangelism in The Second Vatican Council’ (Kuala Lumpur: IIUM, 2011), ‘Solusi Islam Kristen di Indonesia’, ‘Konflik Yahudi-Kristen-Islam’, ‘Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan kata “Allah” dalam Agama Kristen’, dan banyak lagi lainnya.

Nah, dapat kita pahami bahwa kajian terhadap agama-agama yang dilakukan oleh para ulama dan intelektual Islām sampai hari ini terus berlangsung. Bukan saja karena dasarnya adalah Al-Qur’an, tetapi juga realita. Realitas keumatan yang membutuhkan respon serius dari para ulama ini yang akhirnya membuahkan karya-karya menarik dan istimewa. Jadi, ilmu perbandingan ulama terus berkembang dan dikembangkan sedemikian rupa, yang mungkin saat ini sering kita dapati menggunakan istilah ‘kristologi’.

―3―

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

            Dengan melihat keseriusan para ulama kita dalam membentengi Islam dan ajarannya dari serangan musuh-musuhnya kita tentu takjub dan takzim kepada mereka. Tapi, apakah yang harus kita lakukan untuk membalas jasa dan jihad mereka itu? Setidaknya yang paling mungkin kita lakukan adalah: membaca dan menelaah karya-karya mereka tersebut. Karena dengan membaca karya mereka kita melakukan ‘al-i‘tirāf bi’l-jamīl’, ‘berterima-kasih’ dan ‘menghargai’ karya dan usaha mereka. Meskipun itu belumlah cukup. Jika kita diberi kelebihan ilmu dan nalar yang baik oleh Allah, sebaiknya kita pun meninggalkan karya tulis dalam perbandingan agama ini. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.[]

والحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Al-Qur’ān al-Karīm

Bahrul Ulum, Benteng Islam Indonesia: Pemikiran dan Perjuangan KH. Abdullah Wasi’an (Surabaya: Pustaka Da’i, 2003).

Dr. Muhammad Abdullah as-Syarqawi, Buhūts fī Muqāranat al-Adyān (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1420 H/2000 M).

Dr. Muhammad Abdullah Dirrāz, ad-Dīn: Buhūts Mumahhadah li Dirāsāt Tārīkh al-Adyān (Kairo: al-Idārah al-‘Āmmah li Mathābi‘ al-Azhar, 1428 H/2007 M).

Dr. Sa‘ūd ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Khalaf, Dirāsāt fī al-Adyān (al-Yahūdiyyah wa an-Nashrāniyyah) (ar-Riyādh: Maktabah Adhwā’ as-Salaf, 1417 H/1997 M).

Dr. Syamsuddin Arif, “Gayung Bersambut, Kata Berjawab: Tipologi Hubungan Islām dan Kristen”, dalam Qosim Nurseha Dzulhadi, Teologi Islam vs Kristen: Sanggahan terhadap Buku ‘Menuju Dialog Teologis Kristen-Islām’ oleh Bambang Noorsena (Surabaya: Pustaka Da’i, cet. I, 2010).

Husnī Yūsuf al-Athīr, Muqaddimah fī Nasy’at al-Kitābāt ad-Difā‘iyyah bayna al-Islām wa an-Nashrāniyyah (Kairo: Maktabah az-Zahrā’, 1421 H/2000 M).

Imam Abū al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad as-Syahrastānī (479-548 H), al-Milal wa an-Nihal, ed. Shidqī Jamīl al-‘Atthār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1422 H/2002 M).

Imam Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa‘īd ibn Hazm al-Andalusī, al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal (Maktabah as-Salām al-‘Ālamiyyah, tanpa tahun), Jilid 1.

__________, al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal, ed. Dr. Muhammad Ibrāhīm Nashr dan Dr. ‘Abd ar-Rahmān ‘Umayrah (Beirut: Dār al-Jayl, cet. II, 1416 H/1996 M), Jilid 1.

Muhammad ibn Thāhir at-Tanayyir al-Bayrūtī, al-‘Aqā’id al-Watsaniyyah fī ad-Diyānah an-Nashrāniyyah, ed. Dr. Muhammad ‘Abdullah as-Syarqāwī (Kairo: Dār as-Shahwah, tanpa tahun).

Qosim Nurseha Dzulhadi, Teologi Islam vs Kristen (Surabaya: Pustaka Da’i, cet. I, 2010).

__________, مدخل لعلم مقارنة الأديان (Makalah tidak diterbitkan, 2010).

__________, “Al-Qur’ān dan Pengembangan Studi Agama (Telaah terhadap Yahudi, Kristen, Sabea, dan Majusi), Jurnal Tsaqafah, Vol. 10, No.2, November 2014).

__________, Pendeta Menghujat, Ustadz Meralat (Pematangsiantar-Sumut: Alkifah, 2015).

 

 

 

 

               



[1] Makalah yang disampaikan dalam “Muzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara” pada Ahad, 21 Jumadil Awal 1443 H/26 Desember 2021 M.

[2] Penulis mengalami perdebatan dengan aktivis Kristen selama 6 bulan. Dan akhirnya, hasil debat itu, penulis terbitkan dalam bentuk buku dengan tajuk ‘Pendeta Menghujat, Ustadz Meralat’ (Pematangsiantar-Sumut: Alkifah, cet. I, 2015).

[3] Dr. Muhammad Abdullah as-Syarqawi, Buhūts fī Muqāranat al-Adyān (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1420 H/2000 M), hlm. 5.

[4] Cermati Firman Allah, Qs. al-Baqarah (2): 62; al-Mā’idah (5): 69; dan al-Hajj (22): 17. Lebih luas, lihat Qosim Nurseha Dzulhadi, “Al-Qur’ān dan Pengembangan Studi Agama (Telaah terhadap Yahudi, Kristen, Sabea, dan Majusi), Jurnal Tsaqafah, Vol. 10, No.2, November 2014).

[5] Misalnya, cermati Firman Allah, Qs. Fāthir: 24; Yūnus (10): 47; dan al-Isrā’ (17): 15.

[6] Cermati Firman Allah, Qs. al-Baqarah (2): 75, 79.

[7] Firman Allah, Qs. al-Anbiyā’ (21): 22.

[8] Firman Allah, Qs. al-‘Ankabūt: 46.

[9] Firman Allah, Qs. an-Nahl (15): 17.

[10] Firman Allah, Qs. Āl ‘Imrān (3): 19.

[11] Firman Allah, Qs. al-Mā’idah (5): 3.

[12] Qosim Nurseha Dzulhadi, مدخل لعلم مقارنة الأديان (Makalah tidak diterbitkan, 2010), hlm. 5-8.

[13] Yaitu kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Karena ujaran Al-Qur’an seluruhnya menunjuk kepada dua kelompok ini. Lihat, Imam Abū al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad as-Syahrastānī (479-548 H), al-Milal wa an-Nihal, ed. Shidqī Jamīl al-‘Atthār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1422 H/2002 M), hlm. 168-174.

[14] Mengenai unsur-unsur syirik dalam agama Nasrani, rujuk Muhammad ibn Thāhir at-Tanayyir al-Bayrūtī, al-‘Aqā’id al-Watsaniyyah fī ad-Diyānah an-Nashrāniyyah, ed. Dr. Muhammad ‘Abdullah as-Syarqāwī (Kairo: Dār as-Shahwah, tanpa tahun).

[15] Dr. Sa‘ūd ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Khalaf, Dirāsāt fī al-Adyān (al-Yahūdiyyah wa an-Nashrāniyyah) (ar-Riyādh: Maktabah Adhwā’ as-Salaf, 1417 H/1997 M), hlm. 12.

[16] Lihat, Husnī Yūsuf al-Athīr, Muqaddimah fī Nasy’at al-Kitābāt ad-Difā‘iyyah bayna al-Islām wa an-Nashrāniyyah (Kairo: Maktabah az-Zahrā’, 1421 H/2000 M), hlm. 9.

[17] Ibn an-Nadīm (Abū al-Faraj Muhammad ibn Ishāq al-Baghdādī, dikenal dengan “al-Warrāq”), al-Fihrist (Kairo: al-Mathba‘ah at-Tijāriyyah, tanpa tahun), hlm. 325.

[18] Dr. Muhammad Abdullah as-Syarqāwī, Buhūts fī Muqāranat al-Adyān, hlm. 5.

[19] Dr. Muhammad Abdullah Dirrāz, ad-Dīn: Buhūts Mumahhadah li Dirāsāt Tārīkh al-Adyān (Kairo: al-Idārah al-‘Āmmah li Mathābi‘ al-Azhar, 1428 H/2007 M), 16.

[20] Cermati Firman Allah, Qs. Yūsuf (12): 39.

[21] Hayati Firman Allah, Qs. al-A‘rāf (7): 191-195.

[22] Lihat, Imam Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa‘īd ibn Hazm al-Andalusī, al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal (Maktabah as-Salām al-‘Ālamiyyah, tanpa tahun): (1/9). Lihat juga, Imam Ibn Hazm al-Andalusī, al-Fishal fī al-Milal wa al-Ahwā’ wa an-Nihal, ed. Dr. Muhammad Ibrāhīm Nashr dan Dr. ‘Abd ar-Rahmān ‘Umayrah (Beirut: Dār al-Jayl, cet. II, 1416 H/1996 M), (1/35).

[23] Rujuk, Dr. Muhammad Abdullah Dirrāz, ad-Dīn, hlm. 17; Husnī Yūsuf al-Athīr, Muqaddimah fī Nasy’at al-Kitābāt ad-Difā‘iyyah, hlm. 65-69; dan Dr. Syamsuddin Arif, “Gayung Bersambut, Kata Berjawab: Tipologi Hubungan Islām dan Kristen”, dalam Qosim Nurseha Dzulhadi, Teologi Islam vs Kristen: Sanggahan terhadap Buku ‘Menuju Dialog Teologis Kristen-Islām’ oleh Bambang Noorsena (Surabaya: Pustaka Da’i, cet. I, 2010), hlm. xi-xii.

[24] Untuk biografinya, rujuk Bahrul Ulum, Benteng Islam Indonesia: Pemikiran dan Perjuangan KH. Abdullah Wasi’an (Surabaya: Pustaka Da’i, 2003).


 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)